Senin, 11 Maret 2013

Konseling Intensif-Progresif yang Adaptif terhadap Struktur


Konseling Intensif-Progresif yang Adaptif terhadap Struktur


MENGENALI KONSELING INTENSIF dan
PROGRESIF yang ADAPTIF terhadap STRUKTUR
(“KIPAS”)
Bingkisan kecil untuk
Bimbingan dan Konseling Indonesia
dalam “ulang tahun emas” (1963 – 2013).
Edisi Perdana 2013
hak-cipta pada:
Dr. Andi Mappiare-AT., M.Pd.

Pegangan “KIPAS”:
        
        Karya ini mengenai apa?
Konseling pendidikan Indonesia kini berada dalam tantangan cukup berat berkenaan dengan keajekan pengakuan pemerintah, sebagai mana tersirat dalam Rancangan Kurikulum Sekolah 2013. Secara umum, semua level insan Bimbingan dan Konseling (BK) sudah menyadari bahwa bidang BK dalam mana konseling bermukim, tidak secara eksplisit muncul dalam Rancangan Kurikulum 2013. Insan BK dari “papan-atas” sampai “papan-bawah” sibuk dengan berbagai jurus “tanggap-darurat” sesuai kewenangan masing-masing. Kurikulum ini lebih baik disikapi dengan keyakinan bahwa BK masih diperlukan oleh lapangan, dan masih ada “ruang” untuk itu, meskipun sempit. Karenanya, daya sibernetik para Guru BK/Konselor, selaku pemangku tugas memandirikan peserta didik dapat lebih peka menilik-diri atas kinerjanya selama ini. Beberapa konselor, meskipun sedikit, dapat menemukan model yang tepat, yang “ramah-budaya”, membawa rasa nyaman, menyejukkan hati, mencerahkan pikiran siswa/konseli, bagaikan udara dari kipas kayu cendana. Semoga konselor demikian akan bertambah....
Konselor yang gamang, yang tidak memiliki model yang tepat, agaknya jumlahnya adalah mayoritas di sekolah menengah Indonesia. Sikap pribadi bawaannya yang ramah bisa saja menyenangkan siswa, membuat siswa betah bincang-bincang dengannya. Namun, jika tanpa model jelas, konselor ini bisa terjebak dalam “Obrolan-panjang tanpa usaha aksi” (“Opa-tua”). Lebih parah, tidak sedikit Guru BK/Konelor yang melakukan “konsultasi kilat”, diakhiri penandatanganan “ikrar” siswa: “Saya bersalah dan berjanji tidak melanggar lagi”. Konsultasi demikian didominasi nasihat dan marah-marah. Ini adalah bentuk “Konsultasi-Emosional Tanpa Usaha Solusi” (“KETUS”). Gawat!!! .... Semoga saja jumlahnya semakin berkurang...
Karya ini muncul terdorong oleh keharusan adanya kerangka-kerja profesional yang tepat, sambil mengontrol dan mencegah munculnya praktik-praktik “Opa-Tua” dan “KETUS”. Praktik-praktik demikian mungkin disebabkan oleh pendidikan formal pemangku peran BK di sekolah ~ banyak yang tidak berlatarbelakang BK samasekali. Luaran prodi BK pun sangat bervariasi tingkat kompetensinya ~ dari yang sangat tidak kompeten sampai yang sangat kompeten. Diskusi mengenai kualitas PT produsen dan lokal/wilayahnya serta sebab-sebab lainnya, rasanya percuma, malah bisa konterproduktif. Hal jelas, diperlukan pendektan dan kerangka-kerja untuk konseling (khususnya) yang diharapkan lebih produktif, bermakna, dan (di antaranya) mencegah praktik-praktik “Opa-Tua” dan “KETUS”.
Kerangka-kerja atau model konseling, yang selama ini diharapkan dapat menuntun kerja profesional konselor, jelas masih sulit beradaptasi dalam konteks sosial-budaya (struktur dan pranata) sekolah. Lebih-lebih untuk beradaptasi pada tuntutan struktur yang lebih luas dari luar sekolah (lingkungan). Semua kerangka-kerja main-stream konseling berasal dari Barat yang sangat efektif di tangan ahlinya dan dalam konteks Barat. Kerangka-kerja yang diharapkan di Indonesia  adalah yang tersusun dengan sengaja untuk beradaptasi dengan struktur dan pranata sekolah khususnya, lingkungan pada umumnya. Itu harapannya...dalam kenyataan bahwa konseling adalah suatu sistem juga.
Konseling yang mampu beradaptasi dengan struktur (dan pranata) memiliki dua sifat pokok: intensif dan progresif dengan segala kandungan ciri positifnya. Ciri-kerja intensifadalah pemanfaatan sumber-daya tersedia walau terbatas. Ciri-kerja progresif adalah berkelanjutan secara produktif. Adanya dua sifat pokok itu pada konseling (sebagai suatu sistem) memungkinkannya mampu beradaptasi terhadap struktur. Melalui proses penalaran filosofis-ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan, muncul keberanian mengonstruksi sebuah model hipotetik konseling yang utuh. Nama yang tepat untuk konstruksi model ini, persis tersebut pada judul naskah, diambil pokok-pokoknya: “Konseling Intensif ProgresifAdaptif Struktur” (akronimnya, “KIPAS”). Bukan suatu hal kebetulan....
Karya ini merupakan wujud praksis Posmodern yang Konstruksionistis, bukan yang dekonstruksionistis. Posmodern-Konstruksionistis adalah perpaduan kental Konstruksionisme Sosial dan Konstruktivisme Psikologis. Karenanya, ini adalah mengenai“5-R” yaitu cara praktik reformulating, reframingrelabeling posisi revisionist danreconstructionist.[1] Orang-orang dengan cara dan posisi “5-R” dapat dengan mudah menyimak dan mengakomodasi “KIPAS”. Jika seseorang merasa kurang mengenal perspektif Posmodern-Konstruksionistis maka mungkin sekali orang itu akan kesulitan mengenali dan mengakomodasi “KIPAS” (“Makhluk apa lagi KIPAS ini?!”).
Isinya apa dan bagaimana?
Isi pokok dari kerangka-kerja KIPAS adalah prosedur dan sifat konseling. Isi pokok itu terkandung nyata dalam penegasan namanya. Prosedurnya yang juga dikondisikan mengandung sifat “ramah-budaya” sangat mempertimbangkan hasil-hasil studi dan penghayatan terhadap praktik-praktik BK Indonesia. Konseling yang “ramah-budaya”, selain dapat beradaptasi dengan struktur, pranata. dan budaya, mempertimbangkan pula budaya dalam rancangan dan penerapannya. Harapannya adalah dapat membawa “angin segar” dan “kesejukan” bagi konseling pendidikan.
Ibarat kipas-angin dalam pengertian sesungguhnya, kipas-angin yang hidup akan membawa suasana nyaman bagi semua. Bukan hal kebetulan, ketika ditemukan rancangan prosedur yaitu langkah awal dari pelaksanaan KIPAS adalah Kabar-gembira. Ini akan menggantikan kesan “berita buruk”, “angin-panas” yang bikin gelisah siswa ketika mengetahui dirinya harus “dikonselingi”. Kabar-gembira itulah kunci pertama KIPAS yang “ramah-budaya”. Sangat logis, langkah selanjutnya berisi kegiatan pemaduan data dan diri konseli yang mengaharuskan penamaan langkah Integrasi. Gambaran jelas urusan klien sebagai produk dari langkah integrasi mengharuskan adanya kegiatan lanjut berupaPerencanaan tindakan. Fokus pekerjaan konseling harus segera dimasuki dalam bentukAktualisasi (rencana). Hampir semua langkah interviu berisi aktualisasi rencana. Salah satu hal penting yang membuat konseling kurang bermakna di sekolah adalah hasilnya yang samar-samar, antara ada dan tiada. Ini harus dikongkretkan dalam bukti tertulis: Sertifikat yang membanggakan konseli dan orangtuanya, jadi masukan bagi guru, bukti akuntabilitas kinerja konselor kepada kepala sekolah khususnya.
Intensitas tinggi kinerja konselor dipersyarati oleh adanya sikap dasar yang dikongkretkan sebagai pemosisian-diri konselor, posisi-diri yang diambil konselor ketika berhadapan dengan orang-orang lain, terutama konseli. Kabar-gembira akan memungkinkan dilakukan jika konselor mengambil posisi diri sebagai Kawan bagi konseli. Ini adalah sangat sentral untuk memantabkan sifat konseling yang mengutamakan hubungan antarpribadi, subjektif. Sifat subjektif ini diimbangi dengan kompetensi kognitif konselor dalam posisi yang Inspiratif. Label “guru” menjadi lebih “ramah-budaya” ketika konselor kompeten dalam posisi Pamong. Posisi diri yang Altruistis dan Sabar bukanlah hal yang asing. Semuaa persyaratan pribadi konselor ideal masuk dalam KIPAS ~ Kawan, Inspiratif, Pamong,Altruistis, Sabar.
Interviu konseling yang dapat meniupkan “angin-segar” dan “ramah-budaya” perlu diwarnai “teknik” komunikasi yang dominan Kata(-kalimat) dukungan. Akan tetapi, waktu singkat dalam mana KIPAS mampu beradaptasi, menuntut konselor bersegera mengerahkan teknik Interpretasi, Pantulan, dan Arahan. Teknik-teknik komunikasi ini senantiasa dikemas dengan sifat kata dukungan. Konseling dituntut menghasilkan rumusan-rumusan jelas sebagai produk suatu interviu. Ini mengharuskan adanya usaha penarikan Sari pati, sejenissummary. Semua teknik komunikasi sudah terkandung dalam KIPAS ~ Kata(-kalimat) dukungan, Interpretasi, Pantulan, Arahan, Sari pati ~ dengan penekanannya yang khas.
Isi secara keseluruhan bagian-bagian model konseling ini ternyata dapat membentuk akronim KIPAS. Itu mulai dari “urusan-inti” konseli dan unsur-unsurnya, strategi modifikasinya, sampai pada tema pokok pembahasan dalam konseling.   Dua unsur utama fokus pembahasan interviu (“urusan-inti”) terdiri atas “aset-terabaikan” (pengganti label “pribadi sakit” atau label “sebab-sebab masalah”) dan  “aset-ideal/terbarukan” (pengganti label “pribadi sehat” atau “tujuan konseling”). Bagaimana kedua unsur “urusan-inti” itu dan strategi modifikasinya dapat terkonstruksi menjadi akronim KIPAS dapat ditemukan dalam kajian selanjutnya. Hal penting lainnya, agar KIPAS dapat beradaptasi dengan tuntutan struktur sekolah, pendidikan, dan hajat negara, tema-tema pembahasan konseling terkategori dalam: Karakter, Identitas, Pekerjaan, Akademik, dan Sosial (KIPAS). Semua kajian penting untuk memandirkan siswa sudah tercakup di dalam konstruksi KIPAS. Mungkin kebetulan.... Hal jelas, tidak perlu dibetul-betulkan.
Pikiran yang mendasari kemunculannya: mengapa dan untuk apa?
Pikir sejenak, pouse... pas sekarang (th 2013) sudah 50 tahun keberadaan BK dalam pendidikan formal Indonesia. Itu dihitung sejak diakomodasi th. 1963 ~ awal pengenalannya pada 1962. Secara personal/akademik/profesional, hampir 40 th saya menekuni BK, di dalamnya sudah lebih 30 th karir saya. Itu dihitung dari mulai menjadi mahasiswa kependidikan/BK, menjadi ilmuan bidang BK, peneliti BK (khususnya budaya terkait BK), pengajar BK, pendidik konselor, dan instruktur sertifikasi Guru BK/Konselor.
Posisi itu memang pilihan untuk fokus dalam kiprah ilmu/akademik, ilmiah. Dus, lebih ke profesional, sekitar 30 th. Selama itu pula saya diberikan makna hidup secara penuh oleh BK. Yaach! Makna hidup ~ kerja-cinta-main. Pada BK kutemukan makna hidup...di dalamnya ada kesibukan, keasyikan profesional, kepuasan, bahkan kesenangan. Makna hidup saya nikmati dari BK. Pertanyaan kepada diri saya pribadi adalah “Apa yang telah saya sumbangkan kepada BK Indonesia?”.... Selama 40 th saya menyusu dari BK?...Almamaterku....”Ibunda-susuanku”.... (Sampai di sini, mata saya jadi terasa panas dan berkaca-kaca.... Entah mengapa...?). Tetapi ... Self-talk saya segera terselip ... “Be objective!”
Posisi objektif yang ditempuh di sini adalah berpadu dengan posisi reflektif. Secara objektif-reflektif, sejak dulu, BK cukup diandalkan di sekolah dan cukup produktif. BK diterima sebagai “Ibu pengasuh” anak-anak didik dalam sistem sekolah...sejak 50 tahun lalu. Berbekal sifatnya yang matriarki, keibuan, peduli dan penuh kasih-sayang, mengasuh-asih anak didik dengan lemah-lembut. Dulu... BK menciptakan iklim segar dalam sekolah. Sekarang...?
Pas 50 th kini... kinerja BK sangat bervariasi ~ mulai yang sangat baik sampai dengan yang amat-sangat buruk, bahkan ada sekolah yang BK-nya tidak aktif. (Saya terbayang saudara saya sebagai Guru BK, sebagai Konselor sekolah). Pekerjaannya berat... tenaga terbatas. Organisasi profesi dan para pakar “papan-atas” telah dan terus berjuang keras berpikir dan berkarya untuk tetap menghidupkannya...dari cara praksis...elegan sampai cara politis... elitis....
Pas di usia 50 th usia BK tahun ini, pada kebanyakan sekolah, semakin hari semakin menyempit ruang-geraknya, constraining zone semakin besar sementara enabling zone-nya semakin kecil, zona profesionalnya nyaris hilang; zona sosial dan fisik yang sempit... terpojok(?)... “mendekam di pojok”(?)... “menggeliat di ruang sempit”(?). Ruang konseling yang nyaman hanya pada sedikit sekolah, banyak yang hanya bersekat triplek.
Pas 50 th usia BK Indonesia.... Almamaterku, “Ibunda-susuanku”.... Di lapangan... Apakah sudah tua-renta, sehingga kurang produktif... Ibarat seorang Ibu tua-renta(?), sudahmenapouse?, sudah lemah, dukungan sistem menipis, Jam BK hanya tersedia satu jam pertemuan, kalaupun ada.
Pas usia 50 th BK kini, konselor nyaris menjadi “pemegang kipas moral yang kesepian”... Kipas itu pun kurang mengepak...kurang mengibas. Banyak yang hanya diam; bagaikan kipas tua.... Untuk berguna, kipas itu harus diperbaharui.... digerakkan... dikibas-kibaskan...bukan badan yang harus bergoyang .... Bukan siswa yang diminta bergerak... Bukan pula para guru matapelajaran.... Bukan Kepala Sekolah....
Pas 50 th usiamu... Di “ulang tahun emas”-mu kini.... Hiruk-pikuk ada di “papan-atas”, tempat para pemikir, para perancang, para pembicara, para pesohor. Semua lapisan BK tersengat mendapati “Rancangan Kurikulum 2013”. Tersengat oleh kenyataan bahwa posisi BK adalah samar-samar dalam rancangan itu. Sebagai “buah dari kegagalan kinerjanya” selama ini? ... Apakah itu adalah “tamparan mematikan” bagi BK?...  Self-talksaya segera menyelinap lagi... “Be objective in reflection!”...
Pasti BK masih diperlukan di sekolah. Masih ada zona luang dalam rancangan, walau terasa sayup-sayup tak sampai. Di sana ada frasa “Iklim Akademik dan Budaya Satdik” dan dalam sistem implementasi kurikulum dengan frasa “Iklim dan Budaya Sekolah”. Adakah itu tempat BK? Semoga ada di sana dan dapat dieksplisitkan. Para “pemain papan-atas” sudah bekerja...terus bekerja...akan menyelesaikan itu. Pasti!!!... Semoga!!!....
Pada pokoknya, dalam posisi pilihan saya di “papan-bawah”, ingin menyumbang bingkisan kecil... hanya karya kecil. Karya dan publikasi ini hanyalah sebuah bingkisan kecil saya dari suara hati-nurani yang paling dalam. Bingkisan kecil untuk BK Indonesia pada 2013 ini dalam “ulang tahun emas” ~ sebuah momen “Lustrum yang bersejarah”....
Pekik-gempita hatiku: “Selamat Lustrum ke-50 BK-ku!!!”.... Almamaterku!!! ... Walau mungkin bingkisan kecil ini diterima masih dengan wajah cemberut..., bahkan mungkin ditampik-sisihkan.....suatu saat kelak ini dapat menjadi sesuatu yang bermakna.... Mungkin!... Yakin!... Bisik diri saya muncul lagi: “Be objective in writing!”
Pendekatan-pendekatan atau ancangan konseling Barat jelas sangat efektif di tangan ahlinya dan dalam zona-zona sosio-psikologis yang luas dan penuh dukungan sistem. Pendekatan utama atau main-stream konseling Barat sudah dikembangkan dan teruji pada, dan diterapkan secara efektif terhadap konseli Barat dan oleh konselor Barat. Pendekatanmain-stream itu dapat dikelompokkan dalam rentangan kontinum: yang sangat kanan, mulai dari Inhibisi Resiprokal, Behaviorisme, Terapi Realitas, dan semacamnya. Agak tengahan ditempati oleh Pendekatan Klinis Sifat-dan-Faktor, Konseling Kognitif, Konseling Rasional-Emotif-Behavior, Analisis Transaksional, dan Gestalt. Pada ujung kiri terdapat Psikoanalisis, Humanisme Rogerian, Logoterapi, dan Eksistensialisme. Semua ancangan itu pernah diajarkan dalam pendidikan calon konselor Indonesia sejak lama. Tidak sedikit Guru BK/Konselor Indonesia yang kompeten dan mahir menerapkan satu sampai tiga pendekatan konseling Barat itu pada tahun-tahun awal karier sebagai Guru BK/Konselor. Namun, karena zona-zona sosio-psikologis yang sempit di sekolah, mayoritas Guru BK/Konselor lambat-laun “menanggalkan” ancangan dan teori yang pernah ditekuninya di bangku kuliah, kebanyakan karena zona yang terbatas, sebagian karena, “putus asa”(?) oleh aksi struktur(?). Semoga konselor tidak mengalami gejala yang sering berhasil dikelola oleh konselor kreatif, yaitu kepadaman gairah-kerja atau “burnout”.[2]
Pelaksanaan interviu konseling pada kebanyakan sekolah, hal jelas, ditandai gejala metamorfosis dari konseling yang menekankan hubungan akrab dalam memandirikan konseli, berubah menjadi “forum” pemberian nasihat, menjadi event pengadilan siswa yang dicap “nakal” atau pelanggar disiplin. Itu bertahan terus, sebagian karena banyak personelnya tidak berlatarbelakang BK sama sekali, sebagian karena waktunya singkat dan karena “forum” itu “tampak berhasil”. Fakta-fakta kinerja dan keberhasilan “di atas kertas tampak nyata”. Cukup untuk menjadi data pendukung akreditasi sekolah.... Tetapi di balik itu, sinyal-sinyal merosotnya kesejahteraan sosio-piskis siswa juga menonjol, seperti kesurupan massal, kekerasan di sekolah, dan tawuran antarpelajar, pergaulan bebas, gaya hidup konsumeristis, dan aneka bentuk penyalahgunaan obat dan media elektronik. Memang itu bukan hanya urusan  BK, itu urusan banyak orang. Tapi konselor jadi tumpuan harapan.... dan gagal memenuhi harapan...  Gambaran ini memang tidak universal. Mari bersama menengok lapangan....
Paduan praksis posmodernis dengan kognitif-behavioral yang melahirkan Konseling Singkat Berfokus Solusi, di tangan pakarnya bisa cepat menolong. Tetapi ketika diterapkan oleh konselor yang kurang mahir (karena ancangan relatif baru atau bukan ahlinya?), bisa berubah menjadi “Obrolan-panjang tanpa usaha aksi”  (bisa muncul akronim “Opa-tua”). Begitupun dengan upaya penerapan Konseling Sesi Tunggal, yang katanya bisa sekali sesi dan relatif singkat. Di tangan ahlinya tentu efektif. Jika konselor tidak mahir (juga karena model baru?) semakin memperkuat keberadaan forum pemberian nasihat dengan kekerasan-bahasa, event menghakimi siswa. Dalam kondisi demikian, konseling bisa bermetamorfosis menjadi ajang nasihat emosional atau “Konsultasi-Emosional Tanpa Usaha Solusi” (“KETUS”).
Perancang model ini, dengan tetap belajar dari banyak kelebihan konseling Barat, mempertimbangkan hasil-hasil penelitian budaya Indonesia terkait BK, berbekal pemahaman sosiologis khususnya sistem sosial, memberanikan diri memunculkan KIPAS. Pilihan atau alternatif KIPAS, setelah melalui sejumlah pengujian kelak, potensial dapat diterapkan untuk mempermudah Guru BK/Konselor, melaksanakan konseling secara lebih produktif dalam zona profesional yang masih tersedia di sekolah. Dalam prosedur dan sifat konseling KIPAS yang diabstraksikan di atas dan lebih kongkret dalam paparan berikutnya, dapat diterapkan untuk membawa “angin segar” dan “kesejukan” bagi konselor dan siswa. Pada akhirnya, secara ideal (rasanya bukan uthopia), KIPAS diharapkan dapat menyumbang nyata bagi siswa dan struktur pendidikan sekolah dan pada gilirannya untuk memperbesar dukungan sistem bagi BK.
Ancangan siapa yang dianutnya?
Ancangan siapa yang dianut oleh KIPAS ditunjukkan indikasinya. Indikasi pertama sudah disinggung di atas yaitu perspektif Posmodern-Konstruksionistis. Ancangan eklektik mungkin mewarnai konstruksi KIPAS. Akan tetapi, perspektif kritik humanis sebagai “saudara sepupu” Posmodern-Konstruksionistis yang saya tekuni dan sebagai warna penelitian disertasi[3], sangat mewarnainya. Secara metodologik, kemunculannya mungkin bersifat “Heuristic”,[4] muncul tiba-tiba, tetapi dari suatu endapan berjangka-panjang.
  Nama-nama ahli dan cara konstruksi akronimnya seperti yang saya upayakan dalam mengonstruksi KIPAS ada banyak. Ini bukanklah suatu cara baru, asing, aneh, apalagi berbuatan yang “aneh-aneh”.  Charles D. Bortle mengistilahkan cara seperti ini sebagai“mnemonic acronym”.[5] Dalam konseling atau terapi, sejak pertengahan 1980-an tersohor akronim “BASIC-ID” (Behavior, Affection, Sensation, Imagery, Cognition, InterpersonalRelationships, Drugs/Died)[6] dari Multimodal oleh Arnold Lazarus. Pada bagian lain, Gerard Egan menawarkan akronim “SOLER” (face the client Squarely, adopt an Open, Lean towards the other (client), maintain good Eye contact, try to be relatively Relaxed)sebagai proses menunjukkan perhatian secara  pisik, suatu microskills untuk menjadi“the Skilled Helper”.[7]
  Dalam dunia pengajaran, khususnya strategi pembelajaran, akronim macam ini sangat banyak digunakan dalam pelabelan dan deskripsi perangkat pembelajaran. Salah satu strategi untuk menuntun siswa melakukan latihan reflektif (in dan about the moment) dalamExperiential Learning, pengajar dapat menggunakan pertanyaan dalam kerangka “GURUquestions” (Ground, Understand, Revise, Use).[8] Pengajaran dengan Quantum Teachingmenggunakan cukup banyak akronim, seperti terbuka untuk mendapatkan pemahaman yaitu “WOW” (Wide Open Wonder); modalitas belajar yaitu V.A.C (Visual, Auditory,Kinesthetic), kerangka disain belajar kuantum yaitu “EEL Dr. C” (Enroll, Experience,Label, Demonstrate, Review, Celebrate); inteligensi majemuk yang perlu diperhatikan yaitu “SLIM-n-BIL” (Spatial-Visual, Linguistic-Verbal, Interpersonal, Musical-Rhythmic,Naturalist, Bodily-Kinesthetic, Interpersonal, Logical-Mathematical); dan prinsip menguasai bahan ajar dan membuat siswa tekun yaitu “KEG” (Know it, Explain it, Get it).[9] Dalam dunia pengajaran kita pernah tersohor secara nasional akronim “PAKEM” (Pengajaran-Aktif-Kreatif-Efektif-Menyenangkan) beserta adaptasi dan improfisasinya di daerah.[10]
Improvisasi merupakan kekhasan Quantum Teaching dalam mengorkestrasikan pesan-pesan konseptual, dalam mempelajarinya, dan dalam penerapannya. Imporvisasi dalam penyusunan suatu pesan konseptual yang “berat” dan “rumit”, seperti konstruksi model konseling, diusahakan melalui penyusunan dan terutama penerapannya.  Pemilihan kata yang unik namun tepat dalam melabelkan suatu makna untuk menjadi istilah/konsep adalah berfungsi untuk menghindari kejenuhan dalam belajar. Inprovisasi dalam orkestrasi penerapan suatu model adalah bergantung pada kreativitas konselor. Dalam KIPAS sudah dikondisikan hal ini melalui langkah “Kabar gembira” dan teknik komunikasi “Kata(-kalimat) dukungan”. Ini diharapkan mewarnai seluruh proses konseling sampai konseling diakhiri dengan pemberian “Sertifikat” bermartabat, yang membanggakan dan menyenangkan siswa dan orangtuanya.
 Metafora juga merupakan suatu perspektif tambahan sebagai wujud improvisasi. Metafora “kipas” atau “kipas angin” diharapkan dapat menjadi “roch” pelaksanaan konseling KIPAS. “Roch” ini diharapkan dapat menghindari kejenuhan dalam mempelajari model ini dan lebih jauh dapat membawa suatu kesegaran tersendiri dalam aplikasinya. Meresapnya perspektif metaporik di sini agaknya mendapat angin dari ide tokoh-tokoh penyusun teori secara metaporik terdahulu. Salah satu syarat penggunaan metafora dalam penteorian adalah keharusan memiliki sifat totalitas (terstruktur-utuh) sebagaimana yang dilakukan pada KIPAS. Tokoh-tokoh terdahulu menggunakan metafora berbagai medium untuk menggambarkan kehidupan manusia dan masyarakat. Mereka juga menawarkan syarat-syarat bagi suatu totalitas. Tokoh-tokoh dimaksud, syarat-syarat totalitas yang diajukan, dan upaya penerapan secara metaforik, lebih lengkap dapat dilihat pada penteorian temuan disertasi yang sudah dipublikasikan berupa buku referensi [11]
 Ambil resiko (risk-taking) penyusunan model dengan akronim secara total mengenai dan di dalam KIPAS, agaknya sebagai pembeda dari yang lain. Akan tetapi, ini bukanlah sesuatu yang dibuat-buat, dipaksa-paksakan, dan “bukan karya kilat yang asal-asalan”. Ini adalah hasil refleksi pribadi/akademik/profesional dalam rentang waktu cukup panjang. Pengalaman dalam menulis “Kamus Istilah Konseling dan Terapi” dalam rentang waktu 25 tahun sangat mendukung bagi kepekaan dan kecepatan menemukan mnemonicdalam karya ini.[12] Tidak mustahil, rentang-waktu dan proses penyusunan kamus istilah itu (antara 1981-2006) merupakan bagian tidak terpisahkan dari proses kemunculan KIPAS. Hal jelas, pengalaman penelitian dan hasil-hasilnya, terutama penelitian budaya terkait bimbingan dan konseling mempercepat konstruksi dan memperkuat isi KIPAS.[13]
Patokan-patokan rasional, logis atau ilmiah tetap diutamakan dalam penyusunan struktur akronim KIPAS. Cara yang ditempuh adalah berusaha menemukan makna pokok yang rasional, logis, dan ilmiah terlebih dahulu. Masukan dari penguasaan sumber-sumber dan hasil-hasil penelitian terdahulu mengenai kawasan konseling memperkuat landasan ilmiah suatu makna untuk menjadi konsep atau konstruk. Setelah tiap makna dari rangkaian konsep/konstruk tersusun logis, barulah dicaritemukan label yang tepat untuk membentuk akronim KIPAS. Proses integrasi antarkonsep, pemecahan, dan penukaran tempat secara pantas, selalu mengacu pada patokan rasional, logis atau ilmiah itu. Dalam perspektif kualitatif, cara ini disebut “Chaos analysis”, suatu “a New Science”, dengan tipe khusus “menambang bahasa” (“Mining Language”) atau “Ideonomy”“The suffix –nomy suggest the laws concerning or the totality of knowledge about a given subject. Ideonomy means the laws of ideas, or the totality of knowledge about idea.”[14] Patokan itu (sejalan dengan totalitas sebagai syarat penteorian metafora, di atas) dilakukan dalam konstruksi tiap bagian kerangka-kerja KIPAS. Akivitas olah-istilah itu dipermudah oleh potensi istilah dalam bahasa Indonesia.
Potensi istilah dalam bahasa Indonesia adalah sangat banyak dan memudahkan penyusunan akronim. Istilah-istilah dalam bahasa Indonesia merupakan hasil penyerapan dari aneka istilah bahasa lain: bahasa Arab, Melayu, Inggris yang diindonesiakan, bahasa Sangsekerta, dan bahasa-bahasa daerah khususnya bahasa Jawa. Akibatnya, satu istilah dalam bahasa Indonesia memiliki banyak sinonim (padanan kata) yang memiliki arti atau pengertian yang sama atau mirip. Tegasnya, banyak sekali tersedia pilihan kata untuk melambangkan suatu makna tertentu. Sekali suatu satuan makna tertentu ditetapkan, tersedia banyak pilihan istilah/kata terutama untuk mewakili ruang-lingkup isi suatu satuan makna. Setelah sejumlah istilah/kata ditemukan, dicarikan secara selektif istilah atau konsep yang cocok diekstrak huruf inisialnya untuk mengisi salah satu unsur inisial KIPAS. Begitulah, misalnya, memungkinkan semua istilah/kata utama dalam model KIPAS (Konseling, Intensif, Progresif, Adaptif, dan Struktur) adalah bahasa Inggris yang diindonesiakan. Begitupun, hal lainnya, makna teknik “Summary” menjadi “Sari pati” (Jawa). Dengan demikian, dapat dihindari cara-cara artifisal, dibuat-buat, atau dipaksa-paksakan.
Imbuhan di depan kata, yaitu awalan, yang dapat merubah dari inisial akar-kata menjadi inisial kata-jadian merupakan potensi lain yang dapat digunakan. Inisial “T” pada akar-kata “Terampil” dapat dan bahkan lebih tepat diganti dengan cara diberikan awal “ke” sehingga didapatkan inisial “K” pada kata-jadian “Keterampilan-hidup” untuk konsep “Life-skills”. Begitupun konsep “Play” menjadi “Permainan” dan bukan kata “main”, konsep“Planing” menjadi “Perencanaan”, bukan “rencana”. Tidak ada penyimpangan logika dan pemaksaan ilmiah yang terjadi di sini. Etika adalah perspektif terakhir namun sangat penting dalam konstruksi KIPAS. Konstruksi akronim dalam perspektif etika di sini mengacu pada pendapat seorang filosof logika, matematika dan bahasa yang lahir di Viena Austria yaituLudwig Wittgenstein (1889-1951). Meskipun hakekat filosofinya adalah “anti-systematic through and through”, sejalan dengan “Chaos analysis”, dia peduli etika dengan mengedepankan tindakan moral, bahwa perkataan yang benar adalah yang didasari dengan etika, moralitas, dan logika yang baik.[15]
Akronim yang tersususun secara bermakna sebagai kerangka-kerja seperti ini saya upayakan sejak penyelesaian tesis, 1992. Saat itu tersusun instrumen dengan akronim “OBIGIK” (Observasi Berpedoman bagi Identifikasi Gaya-komunikasi Interviu Konselor) dan “OBENGK” (Observasi Berpedoman bagi Pengungkapan-diri Klien).[16] Berikutnya adalah suatu media bimbingan meningkatkan motivasi belajar (1995) dan saya beri akronim“M.A.U” (Meraih Angka-nilai Ultimet). Disusul sebuah media bimbingan cara berpacaran yang normatif dan selamat (1996) dengan akronim “P.A.C.A.R.” (Pilihanku – Ayah-buda –Calon-lain – Acara-kencan – Realisasi). Sebuah media bimbingan meningkatkan pergaulan sosial menyusul pada 1997 dengan akronim “A.K.R.A.B” (Aku & Kau, Relasi Akrab & Baik). Ketiganya diterapkan secara rutin tiap tahun dalam bimbingan kelompok untuk mahasiswa sejak penyusunannya s.d. tahun 2000-an.[17]
Rancangan KIPAS yang diperkenalkan di sini memang tidak ada kaitan langsung dengan yang dirancang terdahulu. Namun proses kerja pada yang terdahulu memberikan “simpanan memori strategis” yang memperlancar upaya konstruksi KIPAS. Ini memang baru sebagiannya, belum selesai. Akan dipublikasikan bagian-bagian selanjutnya dalam kesempatan-kesempatan mendatang. Suatu hal perlu dicatat bahwa rancangan KIPAS ini baru merupakan hasil rekonstruksi pengalaman pribadi/akademik/profesional. Keterterimaan, keterlaksanaan, dan keefektifan penerapannya di lapangan memang belum teruji secara empirik.
 Evaluasi dan pengujian empirik memang diperlukan. Tidak ada karya yang sekali jadi meskipun suatu karya adalah sekecil ini. Salah satu prosedur evaluasi-awal adalah melalui “uji-publik”. Ini adalah tawaran “uji-publik” untuk dievaluasi. Untuk mewujudkan evaluasi-awal itu, masukan berupa kritik, koreksi, dan saran sangat saya harapkan dari para kolega. Evaluasi KIPAS adalah modifikasi penerapan konsep TOTE (“Test-Operate-Test-Exit”), sebagai pengganti konsep sibernetik (cybernetic).[18] Sibernetik diperlukan dalam proses adaptasi BK.
Asesemen secara kualitatif dan kuantitatif secara menerus akan dilakukan. Sudah merupakan kewajiban penyusun suatu model untuk melaksanakan pengujian atas model itu sebelum diterapkan. Ini adalah resiko yang harus diambil. Ini adalah juga konsekuensi dari praksis level-4 yaitu “mensenyawakan teori dengan praktik yaitu menguji validitas teori dengan praktik dan menguji praktik dengan teori”.[19] Dari situ dapat teruji suatu model dalam batas-batas kebenaran nisbi manusia dengan kriteria segi kemanfaatan ilmiah untuk kebajikan.
Tuhan, Allah Yang Maha Kuasa, akhirnya, sebagai sumber dan tempat kebenaran dan kebajikan mutlak. Kita hanya berusaha meminjam secuil kebenaran dari-Nya, di tangan kita menjadi bersifat nisbi, dipelajari dan diterapkan secara bijak untuk kebajikan umat, generasi penerus bangsa.... Wallahualam bissawab!

Seting penerapannya di mana dan kapan waktunya?
Seting atau latar, situasi/tempat dan waktu, penerapan KIPAS dapat dibagi atas: umum dan spesifik. Situs atau tempat penerapan KIPAS secara umum adalah lembaga pendidikan, terutama lembaga pendidikan sekolah. Rancangan KIPAS memang dihajatkan untuk merespon keperluan sistem sekolah, dan dirancang untuk dapat beradaptasi dengan struktur sekolah.
Sistem atau struktur sekolah, sebagaimana disinggung di atas, memiliki pemangku peran dan tugas yang terdefinisi secara relatif tegas menurut bidang peran. Pemangku bidang Administrasi dan Managemen adalah kepada sekolah dan para wakilnya serta para staf tata-usaha. Bagi konselor, dalam perspektif kerja tim, Tim BK, mereka ini adalah subjek kolegial yang memiliki tanggungjawab utama dalam fungsi-fungsi managemen bagi lancarnya sistem keseluruhan pada sekolah. Menurut seting kerja, subjek kolegial ini memiliki hubungan yang tidak terlampau sering dan intensif dengan para siswa. Dalam hal BK, pemangku Kepala Sekolah dan Wakil Kepala Sekolah dipandang sebagai penanggungjawab tertinggi program BK. Guru adalah pemangku peran dan tanggungjawab bidang Kurikulum dan Pengajaran, dengan tugas utama adalah pengajaran yang mendidik. Mereka ini juga disebut sebagai subjek kolegial bagi Guru BK/Konselor yang memiliki kontak langsung dan intensif dengan para siswa. Seting jam matapelajaran (kolaborasi dengan guru) dapat dimanfaatkan oleh Guru BK/Konselor dalam penerapan KIPAS.
Subjek yang dilayani atau lebih tepat disebut “kawan kerja” Guru BK/Konselor adalah para siswa. Para siswa sebagai yang dilayani perlu diposisikan sebagai subjek. Mereka bukan objek. Ini adalah suara dari prinsip pendidikan lama (“klasik”) tetapi belum ada sinyal-sinyal kuat dalam penerapannya. Prinsip ini baru potensial tampak dalam penerapannya jika situasi dan suasana yang mendukung kerja profesional pendidikan benar-benar ada, khususnya situasi/suasana atau iklim psiko-sosial yang kondusif. Adanya iklim demikian, yang demokratik, saling-percaya, tiada kecurigaan kolegial, memungkinkan Guru BK/Konselor menggunakan seting dan ruang-ruang rekreatif (misalnya kantin dan tempat parkir) untuk berbincang-bincang dengan para siswa dalam pelaksanaan salah satu langkah dari KIPAS.
Situasi/suasana atau iklim psiko-sosial yang kondusif atau mendukung kerja profesional Guru BK/Konselor merupakan latar khusus yang perlu ditonjolkan. Iklim kerjasama yang saling percaya, saling mendukung, iklim kolaboratif yang bahu-membahu seluruh subjek kolegial adalah penting untuk mencapai perkembangan optimal individual seluruh siswa. Itu terjadi karena para siswa dapat mengerahkan regulasi-diri sebagai subjek dalam proses memandiri. Ini menjadi mungkin hanya kalau ekspektasi siswa terekam dan terakomodasi, dan dipenuhi oleh semua subjek kolegial di sekolah. Untuk itu, “asesmen kebutuhan” yang hasilnya selama ini menjadi salah satu pertimbangan penyusunan program BK perlu diperluas konsep, makna dan aplikasinya. Konsep “Survei Ekspektasi” siswa agaknya lebih favoribel karena bisa menjangkau ranah-ranah keperluan siswa seperti anggapan dan pengharapan mengenai banyak dimensi pendidikan dan pelayanan BK. Data hasil survei ekspektasi, tidak sekedar menghasilkan peta kebutuhan siswa melainkan mencakup pula iklim psiko-sosial sekolah yang diharapkan oleh para siswa dan menjadi pertimbangkan  penting Tim BK sekolah dalam penyusunan program, cara dan metode pelayanan, bahkan pendekatan yang perlu ditonjolkan.
Seting waktu merupakan bagian sangat genting dalam mana KIPAS memberikan perhatian yang sangat khusus. KIPAS dirancang untuk beradaptasi dengan ketersediaan waktu tatap-muka Guru BK/Konselor dengan para siswa. Seting waktu yang pasti memberikan peluang adalah 2 x 15 menit waktu istirahat dan sekurangnya 1 x 45 menit jam BK tiap hari, tiap kelas. Untuk dapat beradaptasi dengan seting waktu ini, kegiatan inti KIPAS dapat berlangsung sangat singkat. Interviu konseling memungkinkan berlangsung hanya 15 menit (karena intensif dan progresif yang beradaptasi dengan waktu istirahat siswa); atau sekitar 40-45 menit (sesuai jam BK). Itu mungkin karena interviu konseling KIPAS berfokus pada langkah ke-4 (Aktualisasi); langkah lain KIPAS lebih banyak dikerjakan di luar interviu.


---ooo0ooo---

I. Orientasi Model “KIPAS”

Ø     Konseling
Ø     Intensif
Ø     Progresif
Ø     Adaptif
Ø     Struktur

Konseling yang dibicarakan di sini adalah bagian dari bimbingan dalam latar sekolah, dan sering digandeng menjadi Bimbingan dan Konseling (BK). Dalam upaya memandirikan peserta didik, Guru BK/Konselor sudah berusaha memanfaatkan berbagai perangkat-kerja yaitu program, pendekatan, model, prinsip, dan teknik bimbingan, khususnya konseling. Itu semua adalah dalam upaya beradaptasi terhadap berbagai tuntutan di sekolah. Guru BK/Konselor juga berusaha beradaptasi dengan tuntutan struktur yang lebih besar yaitu Negara, Pemerintah, melalui peraturannya mengenai syarat “Guru yang Profesional” ~ memiliki kompetensi pedagogik, pribadi, sosial, dan profesional (keilmuan). Lalu para Guru BK/Konselor menunjukkan semua perangkat, alat-alat dan bukti-bukti kinerja profesionalnya, baik untuk mengisi portofolio maupun sebagai syarat untuk bisa mengikuti PLPG (Pendidikan dan Pelatihan Sertifikasi Guru).
Perangkat dan alat-alat canggih ditunjukkan, misalnya, program tahunan, program semesteran, program bulanan, program tiap kelas. Itu lengkap dengan alat-alat atau media pelaksanaannya, misalnya media interaktif, media komik untuk pemberian informasi, paket-paket dan modul-modul bimbingan dan konseling kelompok, sampai pada bukti-bukti persiapan kerja, dan foto-foto “papan bimbingan”, foto aktivitas interviu konseling, sampai pada foto “kotak-saran”. Sebuah usaha yang patut diacungi jempol. Hasilnya, nilai-nilai lulus sertifikasi pun di dapat, dan “Sertifikat sebagai Pendidik Profesional”-pun diraih. Setelah itu, pertanyaannya, “Masihkah banyak Guru BK/Konselor yang berminat mengikuti forum Seminar Profesional, Workshops, Pelatihan Peningkatan Keterampilan Konseling?”. Pada beberpa tempat masih ada. Banyak gejala minimnya Guru BK/Konselor yang berminat untuk mengikuti berbagai forum tersebut. Ini bisa mengindikasikan bahwa mereka sangat sibuk dengan kerja profesional untuk mengisi statusnya sebagai “Pendidik Profesional”. Mereka “mempertahankan profesionalitasnya” dengan bekerja keras. Memang harus begitu...kalau memang begitu....
Benarkah begitu? Indikasinya sederhana. Jika memang benar para Guru BK/Konselor telah bekerja-keras “mempertahankan profesionalitasnya”, maka indikasinya terasa yaitu “angin-segar” dalam perbincangan siswa, “ajakan kerja-sama” atau “undangan berkolaborasi” dari para guru, “berita-menyenangkan” yang sampai ke telinga para orangtua. Salah satu indikasi lainnya yang lebih nyata adalah sinyal-sinyal kebermaknaan atau kemanfaatan kehadiran dan kinerjanya bagi para guru matapelajaran dan kepala sekolah serta wakil-wakilnya. Ketika kehadiran BK dipandang bermakna dan bermanfaat maka guru matapelajaran akan rela jam pelajaran dikurangi, bahkan bisa jadi memberikan sebagian alokasi jam matapelajarannya untuk menambah alokasi jam BK ~ demi mendukung belajar siswa dalam matapelajaran yang diampunya. Ketika kinerja BK dipandang bermakna dan bermanfaat bagi sekolah menurut kepala sekolah, maka alokasi jam BK semakin tahun akan semakin banyak. Kalau bermakna bagi sekolah, ruang unit BK semakin luas, semakin lengkap perangkatnya.
Ketika itu terjadi, Guru BK/Konselor dapat disebut telah memiliki perangkat atau alat-alat yang tepat, dipegang dan “dimainkan” dengan bagus, membawa kebajikan kepada sekolah secara keseluruhan. Sekedar fakta ingatan, dokumen dapat dibuka lagi, sebelum tahun 2007, hampir semua sekolah menyediakan alokasi waktu sekitar 2 jam tiap minggu untuk tiap kelas pada tiap jenjang terutama jenjang sekolah menengah atas. Rerata sekolah memiliki ruang konseling yang cukup. Kondisi setelah proses sertifikasi guru, setelah tahun-tahun itu sampai sekarang, jam BK nyaris hilang pada kebanyakan sekolah menengah. Ruang konseling, kalaupun ada, adalah sangat sempit pada banyak sekolah. Bahkan BK di perguruan tinggi, banyak yang “dimerger” dengan unit-unit lain, bukan lagi unit tersendiri. Rasanya, bukan “angin segar” yang telah terhembus.
Petugas BK, Guru BK dan khususunya konselor dapat dimetaforakan ibarat pemegang “kipas-angin” bimbingan pendidikan sekolah, memiliki kedudukan dan peran strategis. Perangkat-kerja, program konseling dan model-model pegangan konselor, ibarat “kipas-angin”, memiliki fungsi yang sangat sentral bagi segar atau layunya bimbingan di sekolah. Ibarat pemegang “kipas” (dalam sejarah dan budaya), kedudukan konselor adalah (seharusnya) memiliki sifat-sifat mulia pada dirinya sendiri. Sifat-sifat mulia itu senantiasa melekat pada dirinya meskipun berada dalam ruang yang sempit. Itu sifat kipas dalam makna simbolis budaya ~ suatu hal yang kebetulan ditemukan setelah selesai rancangan utuh naskah ini. Ternyata, dalam sejarahnya, kipas senantiasa merupakan simbol pembeda dan penyaring yang kotor dari yang bersih (ternyata AC juga begitu). Pemegang kipas (masih makna simbolis budaya) mempunyai fungsi sebagai simbol kesadaran hidup, kearifan atau kebijaksanaan, pembawa kebajikan. Ini terefleksikan dari pagelaran dan tarian budaya bangsa-bangsa Timur dalam mana kipas ditampilkan. Pada “Kipas Gunungan” pada pagelaran wayang, salah satu contoh, kipas “mengandung ajaran filsafat yang tinggi, yaitu ajaran mengenai kebijaksanaan”.[20]  Begitupun dalam pagelaran tari kipas di China dan beberapa tari kipas etnis di Indonesia, kipas dalam tarian adalah simbolisasi dari pembawa kebajikan, yaitu “tersebar-luasnya irama kebajikan dapat menghadang ekspansi kejahatan”,[21] atau jika dirangkum dari yang lain-lainnya, semua membawa ajaran kesadaran hidup.
Melalui metafora kipas ini, ingin digambarkan konseling ideal dalam konteks budaya Timur, khususnya Indonesia. Konseling diharapkan sebagai pembawa iklim psiko-sosial yang favoribel bagi bimbingan pada khususnya dan sekolah pada umumnya. Konseling diharapkan berfungsi sebagai “sentra-produksi” enersi, oksigen, udara segar dan bersih. Di sini, hubungan-baik, kerjasama, dan kolaborasi semua anggota Tim BK (termasuk kepala sekolah dan para wakilnya, tata-usaha, dan para guru, juga orangtua siswa serta para siswa), ibarat “tim penari kipas”, diharapkan dapat meniupkan informasi segar bagi sekolah. Mungkin informasi dan material masukannya adalah kotor, konseling selalu diharapkan memberikan luaran yang bersih. Konseling sebagaimana kipas-angin tidak boleh panas atau mengeras, dan kaku, apalagi meniupkan “angin-busuk”. Iklim kerja yang dapat menyesakkan dada harus dihindari. Istilah dan sebutan-sebutan terhadap pemakai jasa, contoh kongkretnya, perlu ditinjau lagi.
Kebanyakan memang, sumber “angin tidak segar” atau iklim kerja demikian berasal dari kata-kata dan istilah. Selama ini, istilah yang banyak dipakai adalah “memanggil orangtua menghadap”, atau “mengumpulkan wali murid”, atau memberikan  “surat panggilan” kepada siswa. Bukankah orangtua siswa itu adalah subjek bermartabat yang perlu dihormati? Mereka bukan hamba sahaya yang pantas “dipanggil”  untuk “menghadap”, wali murid  bukan benda mati sehingga “dikumpulkan”. Mereka semua telah berperan sangat vital bagi eksistensi sekolah, ada dan hidupnya sekolah. Mereka adalah orang-orang penting. Suatu sekolah pasti mati jika orangtua tidak menyekolahkan anaknya di sekolah itu. Rasanya lebih enak di hati jika istilah itu diganti dengan “mengundang orangtua berdiskusi”, “memberikan kesempatan siswa bicara”. Itu lebih enak di telinga, aroma beritanya lebih nyaman di hati bagi orangtua siswa.
Lembaga BK sekolah pada umumnya dan konseling pada khususnya, intinya, diharapkan dapat meniupkan “angin yang harum-wangi”, ibarat harum-wanginya udara kipas kayu cendana. Namun, zona-zona sosio-psikis yang sempit, program konseling dan model-model pegangan konselor (tentu termasuk ancangan konselingnya) masih sulit berfungsi sebagai “kipas-angin” di sekolah sebagaimana yang diharapkan dalam budaya Timur yaitu menampakkan ajaran-ajaran kesadaran hidup, ajaran kebijaksanaan, danpembawa kebajikan. Kalau kita kembali meninjau perangkat-kerja pegangan Guru BK/Konselor, mungkin model-model pegangan konselor itu terlampau besar, terlampau keras, terlampau rumit dan kaku; konselor Indonesia gagal menerapkannya secara luwes. Ibarat “kipas-angin” elektronik, voltasenya terlampau besar, sehingga sumber-daya yang tersedia di sekolah Indonesia “tidak bisa ngangkat”. Waktu tidak cukup, tempat tidak memadai, dan sebagainya. Nyatanya memang, format-format kelengkapan kerja dan teknik pelaksanaan BK adalah sesuatu yang hanya teruji secara meyakinkan di Barat.
Konseling konvensional Barat ~ mulai dari ancangan Resiprokal Inhibisi dan Behavioral pada ujung kanan sampai pada ancangan Eksistensialisme dan Posmodern pada ujung paling kiri memiliki tahap-tahap yang dapat direduksi dalam bahasa umum yang dapat berlaku untuk semua ancangan: Tahap 1, Pengembangan hubungan atau komitmen; Tahap 2, Identifikasi dan penetapan model permasalahan konseli; Tahap 3, Penyusunan/penyepakatan tujuan konseling; Tahap 4,  Implementasi strategi modifikasi pemikiran/perasaan dan/atau perilaku konseli; Tahap 5, Evaluasi kinerja konselor-konseli dan monitor perkembangan perilaku konseli. Penerapan konseling demikian ini, karena semua tahapnya dilaksanakan dalam interviu tatap-muka, memerlukan durasi waktu dan frekuensi sesi yang menelan banyak waktu. Durasi yang umumnya diperlukan adalah 50 – 60 menit tiap sesi. Penanganan masalah seorang konseli memerlukan sekitar 3 – 4 kali bahkan bisa lebih sesi interviu. Bahkan Konseling Singkat Berfokus Solusi (Solution Focused Brieft Counseling) juga dapat menelan durasi waktu panjang dan frekuensi pertemuan berkali-kali.  Begitupun dengan Konseling Sekolah Sesi Tunggal (Single Session School Counseling), memerlukan durasi lama yang masih sulit diadaptasi oleh konselor dengan ketersediaan waktu BK sekolah yang terbatas.
Dalam konteks umum struktur sekolah Indonesia sebagaimana diabstraksikan di atas, semua ancangan konseling konvensional Barat itu menimbulkan kesulitan “Guru BK” atau “Konselor Sekolah” dalam penerapannya. Selama ini, itu sudah disadari dengan kemunculan berbagai label “budaya” sebagai predikat konseling agar “ramah-budaya”, atau “adaptif budaya”. Ada tiga predikat menonjol konseling di sini: “Lintas-budaya” (“Trans-cultural”), “Silang-budaya” (“Cross-cultural”), dan “Multibudaya” (“Multicultural”). Ini semua telah digaungkan sejak lama dalam berbagai level seminar, dalam banyak worshops, dan bahkan masuk sebagai bagian utuh dari kurikulum pendidikan calon konselor. Dalam penelusuran publikasi karya anak bangsa, sangat menggembirakan, ada puluhan publikasi yang berupaya mengungkap pentingnya pertimbangan budaya dalam konseling, isi budaya Indonesia, dimensi-dimensinya, strategi pengubahan. Akan tetapi, sejauh ini sangat sedikit informasi memadai mengenai sosok-utuh konseling dimaksud. Sosok-utuh itu menyangkut apa label-label mengenai hakekat pribadi sehat atau tidak sehat, bagaimana prosedur atau tahap dan langkah-langkahnya, apa dan bagaimana strategi modifikasinya yang dapat dianggap pantas untuk budaya Indonesia dan yang beradaptasi dengan struktur pendidikan sekolah. Atas dasar itu semua, diperlukan suatu model konseling yang dipandang “ramah-budaya”, yang mampu beradaptasi dengan struktur sekolah. Di sini, diberani-beranikan diri untuk menawarkan konsepsi-utuh yang bernama Konseling Intensif (dan) Progresif (yang)Adaptif (terhadap) Struktur (sekolah) ~ diakronimkan dalam model “KIPAS”.
Intensif(-inovatif) merupakan sifat kerja model KIPAS dalam membantu siswa belajar mencapai kemandirian. Intensif(ikasi) merupakan istilah yang lebih tersohor di bidang ekonomi daripada konseling. Makna umum yang dikandung dalam kata intensif adalah pengerahan segala sumberdaya (walaupun mungkin terbatas) untuk menghasilkan keluaran seoptimal mungkin. Ruang mungkin kecil, waktu barangkali sempit, tenaga bisa jadi sedikit, dukungan biaya mungkin tipis, namun adanya kerja intensif dalam kondisi itu memberikan peluang hasil yang lebih baik daipada jika dalam kondisi itu hanya kerja biasa-biasa saja. Bekerja secara tekun dan ajeg dalam memanfaatkan semua kondisi tersedia, barangkali merupakan rumusan bersahaja untuk mendeskripsikan satu sisi dari konsep “intensif”. Sisi lain konsep “intensif“ adalah irit, hemat, menghindari membuang sia-sia kondisi yang tersedia. Intensifikasi adalah membuat sesuatu menjadi intensif, memanfaatkan secara tekun yang tersedia, menghindari pekerjaan yang tidak perlu. Suatu hal yang sangat mendukung bagi intensifikasi adalah penggunaan cara-cara dan alat-alat kerja yang lain dari biasanya dan memberikan nilai tambah. Dalam teknologi ekonomi, ini dikenal dengan istilah “terbarukan”. Ini adalah hasil dari suatu upaya inovatif sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari intensifikasi.
Ada tiga “modus operandi intensif” yang terpadu dalam model KIPAS: (a). Intensifikasi kinerja konselor, kinerja personel lain bimbingan, dan peran para siswa di luar interviu konseling. (b). Intensifikasi kinerja konselor dan keterlibatan konseli di dalam interviu konseling. (c). Intensifikasi peran konseli setelah (di luar) interviu konseling. Intensifikasi dilakukan dalam menerapkan tahap konseling konvensional secara utuh, apapun filosofi dan ancangan konseling yang dianut seorang konselor. Sifat inovatif model KIPAS, menyertai sifat intensifnya, ditandai oleh keberanian menampilkan prosedur yang benar-benar berdurasi waktu singkat dengan jumlah sesi 2-3 kali pertemuan. Dalam konseling konvensional, sekali lagi, konselor mengerjakan semua tahap itu dalam sesi-sesi interviu, tatap-muka, sehingga memerlukan durasi waktu lama dan sesi pertemuan berkali-kali.
Dapat terbayang, misalnya, konselor mengerjakan Tahap 1 (Pengembangan hubungan atau komitmen) mulai dari penyambutan, topik netral, kesediaan terlibat, danopening. Konselor sekolah Indonesia diajarkan untuk menerapkan itu secara microskills, dan dicoba diterapkan di sekolah. Dalam pengalaman, praktik tahap ini telah menyita waktu 5 – 10 menit. Kalau jam BK yang hanya 45 itu digunakan, maka tersisa waktu tinggal 35 menit. Bisa saja waktu ini digunakan untuk masuk dan menyelesaikan Tahap 2 (Identifikasi dan penetapan model permasalahan konseli), kemudian konseling ditutup karena waktu habis. Konseli keluar dengan wajah penuh keheranan, atau paling-paling berjanji untuk datang lagi, namun tidak kunjung kembali. Konseling menjadi tidak produktif, untuk hanya seorang konseli. Bagaimana dengan nasib 39 siswa lainnya, jika satu kelas ada 40 siswa? Berapa waktu yang diperlukan agar dapat dilakukan pengembangan optimal individual setiap siswa? Jalannya adalah konseling atau bimbingan kelompok, yang isinya dan cara pelaksanaannya, mayoritas Guru BK/Konselor mengambil pola-pola pengajaran. Atau, paling optimal berusaha menerapkan berbagai bimbingan kelompok yang baku, dan seakan-akan berhasil.
 Kembali ke konseling, pertanyaan esensial pertama yang perlu diangkat adalah “Masih perlukah konselor dalam interviu melakukan penyambutan dan topik netral kepada siswa (‘anaknya’) sendiri?”. Rasanya, bukan saja tidak perlu, melainkan menjadi tidak pantas dilakukan, janggal, sebab seharusnya konselor sudah mengenal baik siswanya dan para siswa sudah sangat paham bahwa konselor memiliki sikap dasar konselor yang membuat nyaman. Jika tidak, ada kesalahan dalam pemosisian-diri Guru BK/Konselor itu sejak pertama ia menginjakkan kakinya sebagai tenaga profesional di sekolah itu. Pertanyaan kedua, “Haruskan baru di dalam interviu konseling (tempat) dilakukannya Tahap 2 (Identifikasi dan penetapan model permasalahan konseli)?”. Seharusnya tidak, sebab di luar interviu pun konselor sudah menganalisis data siswa dan mendapatkan simpulan-simpulan sementara mengenai “model masalah siwa/konseli”. Jika tidak, berarti ada kelalaian prosedural dalam upaya pemahaman individu siswa di sekolah itu. Begitupun dengan pelaksanaan Tahap 3, yang dapat diantisipasi arahnya (tujuan konseling) berdasarkan hasil-hasil pemahaman individu, tidak harus menunggu event interviu konseling, konselor baru menyusun tujuan puluhan menit.
Dalam penerapan model KIPAS, suatu sifat inovatif utama, karena itu, dilakukan modifikasi penggunaan seting konseling. Tahap 1, Tahap 2, dan Tahap 3 dicanangkan sudah dikerjakan rampung di luar interviu konseling melalui penerapan “modus operandi intensif” butir a di atas. Intensifikasi kinerja konselor, kinerja personel lain bimbingan, dan peran para siswa di luar interviu konseling (butir a), harus terjadi di sekolah. Intensifikasi kinerja konselor perlu dilakukan dalam pengumpulan data siswa, analisis data, untuk pengisianCummulative Record tiap siswa. Intensifikasi kinerja personel lain bimbingan yaitu para guru matapalajaran sebagai bagian dari Tim BK dapat dilakukan, minimal, dengan menyerahkan hasil-hasil olahan data prestasi tiap siswa dalam matapelajaran yang diampu oleh tiap guru. Intensifikasi peran para siswa dapat pula dilakukan untuk mengolah data dirinya dan data bukan rahasia para siswa-siswa lain. Siswa yang dapat terlibat intensif, pada tahap-tahap awal, minimal pengurus OSIS dan/atau “Sahabat Sebaya”, “Siswa Sahabat”, atau “Kakak Peduli” (apapun nama yang nanti diberikan, pengganti istilah “Konselor Sebaya”, karena kata “konselor” adalah profesional). Cara ideal adalah setiap siswa dapat memegang dan mengolah data diri-pribadinya masing-masing dalam “Cummulative Record” masing-masing.
Dalam model KIPAS, hanya tahap 4 saja yang menjadi fokus penyelesaian interviu konseling melalui penerapan “modus operandi intensif” butir b di atas. Intensifikasi kinerja konselor dan keterlibatan konseli di dalam interviu konseling (butir b), tidak sulit dilakukan jika kondisi keterlibatan siswa sudah dikembangkan konselor di luar interviu sebagaimana dideskripsikan dalam bagian akhir paragraf di atas. Siswa memang perlu dikondisikan untuk mengurus “Cummulative Record” dirinya sendiri. Inilah wujud paling nyata dan paling bermanfaat langsung dan segera apa yang kita sebut “memandirikan peserta didik”. Sungguh sulit membuat orang mandiri melaksanakan tugas-tugas yang kurang bermakna langsung bagi dirinya, jika mengurus “Cummulative Record” dirinya sendiri tidak kompeten. Terlalu jauh rasanya latihan-latihan memandirikan 11 aspek Standar Kemandirian Peserta Didik. Hal paling dekat, langsung, dan bermakna penting, adalah para siswa “mandiri mengurus data diri-sendiri”. Latihan-latihan mengelola secara mandiri “Cummulative Record”masing-masing siswa adalah sangat perlu dilakukan. Ini harus diprogramkan dan dilatihkan secara periodik, sampai ada penambahan jumlah siswa yang kompeten tiap periode latihan.
Ketika ini sudah terkondisikan, maka intensifikasi kinerja konselor dan keterlibatan konseli di dalam interviu konseling menjadi lebih mudah dan menguntungkan bagi konselor dan siswa. Namun mungkin saja tidak ada penambahan jumlah siswa yang mencapai kemandirian mengurus dirinya sendiri, banyak yang tidak kompeten mengurus Cumulative Record miliknya sendiri secara mandiri, bahkan bisa jadi ada sekolah dalam mana siswanya tidak ada yang kompeten mandiri dalam hal ini. Jika yang terakhir ini terjadi, maka konselor sekolah itu perlu “kepekaan  sibernetik”. Itu adalah sinyal balikan sangat kuat. Konselor perlu bertanya kepada diri sendiri, “Apakah saya sebagai konselor cukup memiliki kemandirian profesional?”; “Apakah program konseling yang saya gunakan adalah buatan tim saya sendiri?”; “Apakah modul-modul atau paket-paket latihan pemandirian adalah rancangan tim saya sendiri?”; dan seterusnya. Intinya, hanya konselor yang mandiri yang bisa memandirikan siswa. Hanya konselor yang mandiri yang dapat diharapkan melakukan kerja intensif.
Itu adalah satu paket yang tidak terpisah, kerja konselor yang intensif berbarengan keterlibatan tinggi konseli, dengan perhatian pada tiga hal: 1). Penggunaan waktu yang intensif berarti tidak ada lagi “basa-basi” panjang-lebar atau topik netral pada awal interviu, bahkan pada awal interviu mula-pertama (initial interview). Karena yang datang itu adalah “anaknya”, bukan orang asing yang baru bertemu konselor. Namun demikian, semangat “angin-segar” atau “kabar gembira” pasti ditunjukkan oleh konselor yang tampak dalam semua tampilannya, bukan hanya pada kata-kata khusus, cara-duduk, jabat tangan, dan segala yang disebut “teknik”. 2). Penggunaan rangkuman “urusan-inti” konseli dalam format-format yang mudah dibaca adalah mutlak. Konselor tidak perlu takut dengan “pesan-pesan klasik” bahwa konselor harus fokus berkomunikasi kontak-pandang tanpa gangguan kertas dan polpen. Konselor inovatif berani menempuh cara baru, menggunakan lembaran rangkuman data dalam kertas di tangan untuk ditunjukkan dan dibaca oleh konseli. Konselor tidak cukup dengan berbicara saja. Itu tidak intensif dan tidak inovatif. Konselor perlu membiarkan konseli memegang lembaran yang berisi rangkuman “urusan-inti” diri dalam interviu. Itu adalah miliknya, urusan dirinya, makna terbesarnya harus ada di dalam diri konseli. 3). Penegasan kesepakatan “urusan-inti” konseli segera dilakukan. Konselor yang bijak akan segera dapat membahas “urusan-inti” ini dalam waktu singkat untuk mendapatkan kesepakatan konseli bahwa itu adalah urusan-inti konseli, bukan urusan-inti konselor. Di sini konselor segera meminta kesepakatan konseli mengenai label khusus “aset-terabaikan” (“sebab-sebab masalah”) dan “aset-ideal/terbarukan” yang dikehendaki (“tujuan konseling”). Ini memungkinkan selesai dalam 2-3 menit pertama interviu, asalkan terakomodasi pula ciri progresif(-produktif) dari KIPAS (lihat di bawah).
Menit-menit selanjutnya, konselor bekerja bersama konseli untuk melaksanakan Tahap 4 (umumnya disebut “Implementasi Strategi”, dalam KIPAS disebut “LangkahAktualisasi”). Pada tempatnya dalam pemaparan lebih lanjut akan dideskripsikan bagian ini. Adapun tahap 5 adalah fokus kegiatan setelah (di luar) interviu konseling melalui penerapan “modus operandi intensif” butir c di atas. Intensifikasi peran konseli setelah (di luar) interviu konseling (butir c) menyangkut kegiatan-kegiatan tugas mandiri untuk mencapai “aset-ideal/terbarukan” yang dikehendaki, pantau-diri, dan laporan-diri. Jadi, interviu konseling model KIPAS (dengan fokus “Langkah Aktualisasi”) ~ yang secara umum, disebut “Tahap Implementasi Strategi” ~ memungkinkan rampung dalam durasi waktu sangat singkat (12 – 13 menit) dalam dua-tiga sesi interviu. Interviu KIPAS bahkan mungkin rampung satu sesi penggunaan jam istirahat (2-3 menit Langkah 1, 2, dan 3; sisanya 12-13 menit Langkah 4, “Aktualisasi”), dengan syarat, “urusan-inti” konseli kurang rumit, konseli terlibat penuh, konselor kompeten, dan keduanya tanpa gangguan dan fokus.
Untuk itu, sifat inovatif sekunder dapat dimainkan oleh para konselor dalam menemukan cara-cara baru perampungan setiap tahap konseling, dan dalam melakukan lompatan-lompatan kecil tahap, atau overlaping latar pelaksanaan. Tahap 3 yaitu penyusunan/penyepakatan “aset-ideal/terbarukan” (tujuan konseling), misalnya, sudah dapat dirampungkan oleh konselor bersama siswa sebelum tatap-muka suatu sesi interviu konseling, dan jika tidak maka tahap ini harus sudah relatif definitif pada 2-3 menit pertama sesi pertama tatap-muka, interviu konseling KIPAS. Evaluasi kinerja konselor-konseli dan monitor perkembangan perilaku konseli (Tahap 5) sudah dapat diawali dalam akhir sesi interviu dan dilanjutkan dalam latar luar sesi-sesi interviu. Ada banyak waktu senggang “informal” (luar kelas, luar interviu) yang dapat dimanfaatkan oleh konselor untuk bekerja bersama siswa. Hal jelas, ini semua dapat terlaksana dengan lancar dengan syarat adanya rangkaian kinerja prosedural yang progresif(-produktif).
Progresif(-produktif) merupakan sifat penting kedua dalam model KIPAS menyertai sifat intensif pada modus operandinya. Kata “progresif”, lagi-lagi berasal dari suara sosio-ekonomi. Konseling pendidikan, karena bukan bagian (apalagi salah satu teknik saja) dari psikologi, tidak terkungkung dengan peristilahan, dalil-dalil, dan penjelasan psikologi semata. Konseling pendidikan sudah banyak menyerap dari psikologi. Psikologi sangat berjasa bagi konseling pendidikan. Namun, konseling pendidikan harus menambang berbagai daya (power) dari keilmuan perilaku lainnya, termasuk sosiologi dan ekonomi, dan lain-lainnya, jika ingin tetap-hidup, tidak tergilas oleh kemajuan zaman. Konsep “progresif” menunjuk pada sifat-kerja yang memulai sesuatu secara cepat, lebih dini, mencapai hasil yang lebih awal. Dalam sosio-ekonomi, progres seringkali bergandengan dengan kata “perfeksi” yaitu tepat-cermat dalam kerja. Kerja cepat, tepat, dan cermat akan menghasilkan produk secara lebih dari biasanya.
Model KIPAS berorientasi pada hasil (produksi) sekaligus pada proses (progres), namun humanis. Oleh karena itu, di sini dipilih konsep “produktif” sebagai gandengan “progresif”, sementara perfeksi tidak terlalu ditonjolkan, sehingga bukan “progress-and-perfection”. Kerja perfeksi mungkin baik untuk bidang kerja kebendaan yang melibatkan robot, memainkan mesin dan angka-angka secara eksak; namun bagi konseling yang dilakukan oleh manusia dan berurusan dengan hubungan manusiawi, konsep “perfeksi” terlampau beraliran materialisme; mengandung tuntutan yang menyulitkan diri sendiri, potensial berdampak buruk dalam konseling. Konsep yang banyak digunakan dalam konseling, terutama konseling komunitas, yang dekat-dekat dengan konsep progresif adalah“out-reach”, “menjangkau keluar”, keluar menjemput bola, tidak menunggu didatangi oleh konseli. Konsep “progresif” sudah mencakup ini, dan tidak hanya ini. Konselor KIPAS menerapkan konsep “out-reach” secara luas, mencakup kerja pengembangan hubungan, pengumpulan data, pengumpulan informasi yang penting terkait strategi kerjanya, pelaksanaan interviu, dan seterusnya.
Kondisi prasyarat paling dasar model KIPAS, untuk menunjukkan progresifnya, adalah pengembangan hubungan atau komitmen (“konseling Tahap 1”) yang harus sudah mulai diupayakan oleh seorang konselor sejak hari pertama dirinya bertugas pada suatu sekolah. Sejak itu, konselor sudah mulai mengembangkan hubungan baik dengan Kepala Sekolah, para Wakil Kepala Sekolah, para staf dan petugas bimbingan lainnya, dan terutama dengan para siswa yang sudah terlebih dahulu ada di sekolah tempat ia pertama-kali ditempatkan. Dengan kata lain, kerja progresif(-produktif) ditandai dengan menempuh tahap awal pada kesempatan pertama. Pengembangan hubungan terlampau terlambat, kasep, menelan banyak waktu interviu, dan tidak produktif, jika baru dilaksanakan di dalam interviu konseling.
Sejalan dengan itu, secara bertahap dan progresif(-produktif) seorang konselor harus mendapatkan dan mengembangkan komitmen kerjasama dari semua lini personel sekolah tempat kerjanya. Pengembangan hubungan atau komitmen senantiasa dilakukan oleh konselor secara progresif(-produktif) dengan para siswa baru setiap tahun. Konselor sekolah perlu mendapatkan dan meningkatkan posisi-posisi tawar (“bargaining positions”)mereka guna mendapatkan fungsi-fungsi konseling yang bergengsi, berjaya, dan peluang kerjasama di dalamnya. Peluang-peluang kerjasama yang tercipta memungkinkan konselor berkolaborasi dengan semua petugas bimbingan dalam rangka pengumpulan data yang mendukung program konseling. Kerjasama dan kerja kolaboratif yang produktif (misalnya, menghasilkan cukup data) memungkinkan konselor melakukan identifikasi dan menjadi cikal-bakal penetapan model permasalahan konseli (masukan bagi “konseling Tahap 2”) untuk beberapa siswa, tentu lain-lain untuk tiap siswa. Dalam tahap ini, berbekal cukup data, konselor dapat mengolah data yang membawanya fokus pada sesuatu/beberapa kelas dalam asuhan/perwaliannya, lalu lebih memokus pada beberapa orang siswa yang sangat memerlukan bantuan, yang berhak mendapatkan kesempatan-baik menerima layanan. Mereka dinamakan “siswa fokus” bantuan.
Ketika sudah berhasil mengidentifikasi secara bermanfaat para “siswa fokus”, seorang konselor sudah dapat melakukan identifikasi ciri-ciri pribadi tiap “siswa fokus” dimaksud. Kegiatan ini dapat dirampungkan oleh konselor di luar interviu konseling atau di dalam bimbingan klasikal. Ini kemudian berlanjut secara progresif ke penyusunan rumusan tujuan konseling untuk setiap “siswa fokus” itu, minimal, rumusan dalam versi konselor sendiri berpatokan pada hasil olahan data. Jika kondisi prasyarat sudah memungkinkan, khususnya konselor telah memantabkan hubungan saling percaya dengan para “siswa fokus”, seorang konselor diharapkan sudah memiliki “draf” mengenai “urusan-inti”(pengganti konsep “model masalah”) bagi beberapa “siswa fokus” secara pribadi-pribadi. “Urusan-inti” siswa mencakup dua unsur dasar yaitu “aset-terabaikan” (pengganti konsep “penyebab masalah”) dan “aset-ideal/terbarukan” (yaitu tujuan konseling). Jika “urusan-inti” untuk tiap “siswa fokus” belum berhasil disusun drafnya di luar interviu konseling, sekurangnya hal itu sudah dibangun dalam pertemuan konseling kelompok dalam jam-jam BK.
Adaptif adalah sifat utama yang melekat di dalam model KIPAS dan para konselor yang menerapkan model ini. Ini adalah istilah biologi, ingat Charles Darwin, yang banyak digunakan dalam teori sosiobiologi. Adaptif adalah sifat atau kondisi penuh dengan kemampuan memenuhi tuntutan-tuntutan lingkungan, mencakup kepekaan, daya tanggap terhadap tuntutan lingkungan termasuk sistem-sistem lain, daya sibernetik dan ekuilibrium dirinya, daya mampu merubah sistem dalam diri untuk memenuhi tuntutan lingkungan. Lebih jauh, sifat adaptif ditandai kepemilikan dan kemampuan berkembang dalam hal strategi untuk bekerjasama saling-menguntungkan (mutually symbiotic) atau (jika perlu) untuk bersaing dengan sistem-sistem lain. Ini semua adalah fungsi dari kecerdasan. Hanya sistem yang cerdas yang bisa bertahan-hidup (survive) dalam tuntutan lingkungan yang semakin tumbuh, berkembang, dan maju pesat. Ada persaingan antarprofesi di manapun di dunia. Ini tidak bisa dinafikan, ini adalah hakekat makhluk atau sistem. Sistem yang tidak cerdas akan punah, dan BK sebagai sebuah sistem tidak menginginkan hal itu, karenanya harus mampu beradaptasi.
Ada dua pola sifat adaptif penting konseling dalam lingkungan internal sekolah. Sifat adaptif pola pertama model KIPAS adalah dalam menghadapi kondisi struktur kerja sekolah yang penuh keterbatasan (durasi dan frekuensi) interviu. Dalam hal ini, sebagaimana diabstraksikan di atas, model KIPAS merampungkan tiga tahap pertama konseling di luar interviu konseling, atau dalam pertemuan klasikal, secara intensif dan progresif. Sifat adaptif pola kedua model KIPAS adalah kemampuannya mengantisipasi waktu terbatas tersedia, sehingga mampu berfokus merampungkan implementasi strategi (konseling tahap 4) saja di dalam interviu konseling (individual). Adaptasi(-antisipatif) penerapan implementasi strategi dilakukan secara manusiawi, sederhana, dan gamblang. Ini tampak pada langkah-langkah khusus “implementasi strategi modifikasi pemikiran/perasaan dan/atau perilaku konseli” di dalam interviu konseling model KIPAS.
Langkah-langkah khusus KIPAS adalah: (1). Kabar-gembira disampaikan pada dua cara berurutan: Pertama, konselor menyampaikan kabar-gembira secara langsung (tanpa perantara) kepada siswa (secara tertulis)  untuk menjalani interviu konseling, diawali dengan prolog lisan. Kedua, kabar-gembira pada awal interviu konseling disertai penegasanminimal-cost dan kemanfaatan-besar interviu bagi konseli. (2). Integrasi isi dan pribadi yaitu upaya-upaya pemaduan data (isi kajian) dengan kesepakatan dan keterlibatan (pribadi) konseli. Langkah ini dipandang selesai ketika konseli menyatakan bahwa isi kajian interviu ini adalah urusan pribadinya sendiri, bukan urusan (kepentingan) konselor. Indikasinya adalah kesepakatan konseli bahwa dirinya perlu berubah, dan lebih bagus lagi jika sudah spesifik rumusan tujuan perubahan yang dikehendakinya. (3). Perencanaan kolaboratif yaitu perumusan langkah-langah modifikasi perilaku berencana konseli yang dilakukan atas bantuan kolaboratif dari konselor. (4). Aktualisasi rencana yaitu penerapan berbagai strategi modifikasi perilaku pilihan, entah berorientasi pemikiran, afeksi, ataupun tindakan. (5). Sertifikat untuk konseli yaitu didasari monitor partisipasi konseli dalam interviu dengan orientasi pemberian surat tanda sukses (sertifikat) yang indah, bermartabat, sebagai bukti konseli selesai atau sukses dalam kemandirian sosio-psikis-religi.
Sertifikat diberikan mungkin setelah konseli merampungkan suatu “tema pembahasan” yang mungkin diselesaikan dalam beberapa kali interviu. Kriteria khusus perlu dikembangkan untuk pemberian sertifikat ini. Hal penting, konseli dapat mencapai nilai A atau B dalam nilai kemandirian sosio-psikis-religius (karakter, indentitas, pekerjaan/karier, akademik, dan sosial). Untuk itu, model KIPAS juga bersifat antisipatif terhadap keperluan siswa, selain antisipatif terhadap keperluan struktur. Di sinilah model KIPAS lebih berorientasi pada memenuhi keperluan struktur daripada menuntut dukungan struktur. Model KIPAS beradaptasi kepada struktur.
Adaptasi terhadap lingkungan eksternal yang diperhatikan oleh KIPAS adalah situasi sosial yang berkembang sedemikian cepat yang berkaitkan dengan tiga hal: (1). Tuntutan dunia kerja yang penuh persaingan, sistem kerja semakin kompleks, dan diferensiasi bidang-bidang pekerjaan, yang membawa tuntutan akan kompetensi atau kecakapan-hidup yang perlu dimiliki para siswa kelak. (2). Nilai-budaya masyarakat (khususnya remaja) yang senantiasa berubah, berkembang, bervariasi, majemuk, dan cair (fluid), yang mengandung tuntutan kesiapan pribadi tertentu siswa dalam menghadapinya sekarang dan ke depan. (3). Perkembangan IPTEK yang sengat pesat, khususnya teknologi (informasi) tidak saja mengandung tuntutan bagi siswa melainkan pula (terutama) bagi para konselor yang perlu segera meresponnya. Jika konseling tidak mampu beradaptasi, atau tidak mampu membuat kinerja yang sesuai dengan tuntutan-tuntutan itu, maka manfaat kehadirannya di sekolah dipertanyakan. Oleh karena itu, KIPAS tampil untuk mampu beradaptasi terhadap tuntutan eksternal ini, di antaranya, melalui tema-tema pembahasan konseling yang favoribel bersama konseli, beserta unsur-unsur lain KIPAS.
Struktur sekolah menunjuk pada suatu sistem yang memiliki unsur-unsur statis dan dinamis. Unsur  statis struktur sekolah adalah tiga bidang kerja definitif yaitu administrasi dan managerial, kurikulum dan pengajaran, dan bidang kesejahtaraan siswa (BK).  Struktur statis itu dilengkapi dengan pranata yaitu peran dan aturan yang tegas. Persaingan kepentingan dalam alokasi waktu (jadwal pelajaran) dalam konteks kurikulum sekolah yang sarat-beban menandai struktur statis ini.  Hal ini sudah disinggung secara cukup di atas dalam mana model KIPAS terdorong sangat kuat untuk berani muncul.
Struktur dinamis sekolah terdiri dari otoritas sekolah, yaitu Kepala Sekolah, Wakil Kepala Sekolah, Pengurus Komite Sekolah, Wali Kelas, Koordinator, dan semacamnya, serta pemangku organisasi intra siswa. Struktur dinamis juga mencakup para pemangku staf atau personel lain pemangku bidang-bidang dan unit-unit pendidikan di sekolah. Kerjasama dan kolaborasi antarpemangku bidang kerja di sekolah adalah faktor dinamis sangat penting bagi kesuksesan pelaksanaan bidang kesejahtaraan siswa (termasuk BK) khususnya dan pencapaian perkembangan optimal individual siswa pada umumnya. Jika diakui bahwa penanggungjawab tertinggi BK adalah Kepala Sekolah berikut para wakilnya, maka terjalin-tidaknya atau lancar-tidaknya kerjasama dan kolaborasi kerja antarpemangku peran di sekolah berada di pundak Kepala Sekolah berikut para wakilnya. Para Guru BK atau Konselor melalui Koordinator BK adalah penanggungjawab pelaksana kerjasama dan kolaborasi kerja dimaksud. Kemungkinan sangat positif dapat terjadi pada sejumlah sekolah yang beruntung dalam mana semua struktur dinamis itu dapat memberikan dukungan sistem yang memungkinkan Guru BK atau Konselor mengelola kerjasama dan kolaborasi.
Adalah sangat disayangkan jika yang terjadi justru hal sebaliknya. Beberapa unit BK sekolah mungkin saja memiliki struktur dinamis dalam mana konselor tidak mendapatkan dukungan sistem. Keadaan ini ditandai, misalnya, ketiadaan legalitas bagi realisasi program kerja melalui SK khusus, pengurangan jam tatap-muka konselor-siswa secara klasikal, penyempitan dan bahkan peniadaan ruang konseling, dan pembatasan dana operasonal BK. Tidak sedikit konselor sekolah yang mendapati struktur dinamis yang menuntut begitu banyak kepada konselor dengan memberikan ruang kinerja yang sangat terbatas. Dalam kondisi “suram” seperti ini, model KIPAS, sekali lagi, tampil untuk berjuang lebih untuk memenuhi keperluan struktur daripada menuntut dukungan sistem.
Model KIPAS tidak saja memperhatikan struktur eksternal dari dirinya (sekolah), melainkan sadar bahwa unit BK adalah sebuah struktur. Sebagai sebuah struktur (substruktur) yang berada di dalam struktur pendidikan sekolah, BK senantiasa sadar dan peka terhadap apa yang terjadi dalam dirinya. Serangkaian pertanyaan sadar dilontarkan pada diri sendiri berkenaan dengan keefektifan dan kebermaknaan keberadaan dirinya dalam struktur sekolah. Struktur BK, tentu melalui konselor, mempertanyakan mengenai daya sibernetiknya sendiri,  sistem regulasi-diri, daya coupling-nya dengan kondisi struktur, dan pada puncaknya mengenai daya adaptasinya sendiri terhadap struktur eksternal dan diri-sendiri sebagai struktur, sekaligus sebagai agen, aktor.

-- ooo0ooo --


(Bersambung ke Bagian-II “KIPAS”)



II.  Langkah-langkah Interviu KIPAS
Ø      Kabar gembira
Ø      Integrasi
Ø      Perencanaan
Ø      Aktualisasi
Ø      Sertifikat

III.  Pemosisian-diri (Sikap-Dasar) Konselor
Ø      Kawan
Ø      Inspiratif
Ø      Pamong
Ø      Altruistis
Ø      Sabar

IV.  Teknik Komunikasi Andalan Konselor
Ø      Kata(-kalimat) dukungan
Ø      Interpretasi
Ø      Pantulan
Ø      Arahan
Ø      Sari pati

V.  Kategori “Aset-Terabaikan” Konseli
Ø      Keterampilan terpendam dan tersia-siakan
Ø      Intelektual terpendam dan tersia-siakan
Ø      Power tersimpan/terbuang sia-sia
Ø      Assosiasi-berlebihan
Ø      Sensitif simpang-orientasi norma/nilai

VI.  Kategori “Aset-Ideal/Terbarukan” Konseli
Ø      Keterampilan-hidup produktif
Ø      Inteligen/cerdas berpikir kritis
Ø      Piawai, penuh-daya
Ø      Analisis-aktif, realistis
Ø      Sensitif pada norma/nilai

VII.  Strategi Modifikasi dalam Konseling
Ø      Kelola-diri
Ø      Immunisasi-diri
Ø      Permainan
Ø      Analisis-diri
Ø      Sarasehan, Sumbang-saran

VIII. Tema-tema Pembahasan Konseling
Ø      Karakter
Ø      Identitas
Ø      Pekerjaan
Ø      Akademik
Ø      Sosial


Contoh draf paparan menjelang bagian akhir Konseling Model KIPAS

VIII. Tema-Tema Pembahasan dalam Konseling Model KIPAS
Ø     Karakter
Ø     Identitas
Ø     Pekerjaan
Ø     Akademik
Ø     Sosial
Karakter yaitu watak yang merefleksi dalam perbuatan atau keutuhan pribadi siswa/konseli terutama ikhwal kecocokan(-ketidakcocokan)-nya untuk budaya Indonesia dan kemampuan(-ketidakmampuan)-nya merespon tuntutan perkembangan global. Secara umum, pribadi yang cocok itu adalah mengandung pandangan hidup yang berakar dari nilai-nilai budaya bangsa Indonesia dalam kriteria yang sangat terkenal yaitu “seimbang-selaras-serasi”. “Seimbang” berarti paduan 2, 3 atau lebih pandangan hidup yang tidak berat-sebelah, tidak ada dominasi; “selaras” berarti pandangan hidup yang berpadu itu berjalan dalam satu jalur yaitu kebajikan atau kebijaksanaan; “serasi” berarti berkesesuaian atau tidak saling-bertentangan. Kriteria ini, dalam kehidupan sehari-hari, berlaku untuk menafsirkan bangunan kongkret dan abstrak; konstruksi fisik maupun konstruksi psiko-sosial, termasuk yang disebut “karakter”. Bangunan atau konstruksi karakter yang memenuhi kriteria “seimbang-selaras-serasi” itu disebut “pantas” atau “cocok” pada bangsa Indonesia.
Atas kriteria itulah, konstruksi karakter bangsa Indonesia yang diidealkan dapat ditemukan cikal-bakalnya di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan (inklud) lima sila dari Pancasila. Karakter bangsa Indonesia, tegasnya, adalah bersifat eklektik-gestalistik, dan disebut “MIS” (Manusia Indonesia Seutuhnya). Label-label umum karakter bangsa Indonesia yang diidealkan hanya dapat disusun secara unik, khas, dan utuh, dengan landasan yang kuat (akar budaya bangsa). Label-label dimaksud tidak mungkin tepat jika diperoleh dari konsepsi-konsepsi umum perspektif asing, misalnya dari petikan sumber-sumber luar. Berlandaskan akar budaya bangsa, dapat disusun kategori umum karakter MIS dalam paduan pantas pandangan hidup berikut: (1). Personalis-Humanis-Agronomis. (2). Etnosentris-Nasionalis-Internasionalis. (3). Individualis-Kolektivis-Universalis. (4). Pragmatis-Realis-Idealis, (5). Materialis-Sosialis-Religius. Sejumlah karakteristik budaya terlibat pada tempatnya dan dipertimbangkan secara “pantas” atau “cocok” oleh konselor ketika konselor berupaya memandirikan peserta-didik. Beberapa karakteristik yang dilabelkan “matriarkis-patriarkis” (perspektif gender), juga “power-distance” (perspektif struktural), misalnya,  tidak diterima mentah-mentah oleh konselor namun dipertimbangkan secara “pantas” atau “cocok” oleh konselor dalam upaya memandirikan peserta-didik.
Upaya memandirikan peserta-didik dalam konseling sebagai bagian utuh dari bimbingan dan pendidikan adalah upaya konstruksi kelima kategori label pandangan hidup ini secara “seimbang-selaras-serasi” sampai mencapai kualitas “pantas” atau “cocok”. Inilah konsutruksi karakter sebagai luaran konseling yang diidealkan. Deskripsi agak kongkretnya dapat dicanangkan untuk tiap label karakter umum itu sebagaimana tampak dalam abstraksi kerja konselor di bawah ini. Konselor model KIPAS dalam membahas tema karakter senantiasa mengases tiap unsur dalam kelima kategori label karakter itu berdasarkan kriteria di atas dan melabelkan kualitas “pantas” atau “cocok” atau tidaknya, menurut pelabelan khas “urusan-inti” konseling model KIPAS.
1). Karakter Personalis-Humanis-Agronomis. Di sini para siswa diharapkan memiliki sejumlah kompetensi keterampilan hidup pribadi (personalis), namun semua itu disertai keterampilan yang manusiawi (humanis) dan memiliki kecintaan terhadap alam dalam menopang kehidupan manusia (agronomis). Artinya, orientasi pada pengembangan kemandirian siswa adalah kecakapan diri-pribadi sekaligus kecakapan dalam peningkatan martabat manusia melalui pemeliharaan, pengelolaan dan pemanfaatan sumber-daya alam dan lingkungan fisik sekitar. Dalam hal ini konselor KIPAS mungkin sekali mengkaji (K)“Keterampilan terpendam dan tersia-siakan” (sebagai label “aset-terabaikan”) sembari mengidentifikasi “Keterampilan-hidup produktif” (“aset ideal/terbarukan”) yang diperlukan siswa.
 2). Pada karakter Etnosentris-Nasionalis-Internasionalis yang pantas adalah ditandai kepekaan pada dan penghargaan terhadap budaya lokal (etnosentris) bersamaan dengan pengembangan kognisi untuk belajar dalam arti luas bagi penguasaan ilmu/pengetahuan untuk kepentingan nasional (nasionalis) serta peduli pula pada perdamaian dunia (internasionalis). Dengan kata lain, orang indonesia yang utuh (MIS) adalah beorientasi pada kearifan lokal sekaligus pengembangan ilmu dan teknologi untuk kemasylahatan bangsa dan budaya-etnis dan budaya nasional untuk mengisi dunia global atau berpartisipasi dalam kiprah antarbangsa. Namun, jika keadaan memaksa karakter ini juga mewujud menghadapi dunia global dengan mengekspresikan budaya-tandingan. Di sini, konselor KIPAS bisa fokus mengkaji (I) kemungkinan adanya “Intelektual terpendam dan tersia-siakan” (“aset-terabaikan”) sebagai hal yang mungkin mengarahkan konselor mengagendakan kemandirian untuk “Intelijen/cerdas berpikir kritis” (“aset ideal/terbarukan”) pada konseli agar tidak tergoda oleh proyek “politik-identitas” yang gencar melalui media masa, dalam dunia tontonan dan hiburan.
3). Karakter Individualis-Kolektivis-Univesalis ditandai adanya kompetensi individual seseorang untuk berkompetisi (individualis) namun juga menghargai dan bisa bekerja-sama atau bergotong-royong (kolektivis), tidak hanya dalam kelompok atau komunitas yang diakrabi tapi, juga dengan bangsa manapun (universalis). Tegasnya, siswa diharapkan peduli pada kemandirian pribadi, maksud-maksud subjektif diri sendiri, misalnya untuk giat bekerja, ulet atau tidak gampang menyerah menghadapi kendala tugas-tugas hidup, dengan tujuan untuk kemasylahatan diri dan orang-orang lain. Konselor KIPAS dalam hal ini  mungkin sekali mengkaji “urusan-inti” konseli khusus unsur-unsur  (P)“Power tersimpan/terbuang sia-sia“ (“aset-terabaikan”) dan mengupayakan rumusan-rumuan agenda khusus untuk mengonstruksi pribadi yang “Piawai, penuh-daya” (“aset ideal/terbarukan”).
4). Karakter berikut yang pantas untuk bangsa Indonesia adalah Pragmatis-Realis-Idealis. Sebagai produk konseling, dalam hal ini, siswa diharapkan dapat mengurusi kepentingan sesaat (pragmatis) dengan melihat fakta-fakta kongkret kondisi diri dan kehidupannya (realis) namun juga memiliki pandangan-pandangan ideal ke depan sebagai kehidupan yang lebih baik yang hendak diraihnya (idealis) selaras dengan kondisi dukungan realistis yang ada atau yang memungkinkan dimilikinya.  Artinya, konselor menggugah siswa berorientasi pada pemikiran kongkret (jangka-pendek) berpadu dengan berpikir agak abstrak dalam jangka-menengah sampai yang abstrak dalam perspektif jangka-panjang. Di sini siswa dibantu mengaitkan alat dan tujuan. Fokus kerja konselor KIPAS di sini sangat mungkin pada penafsirkan keberadaan (A“Assosiatif-berlebihan” (“aset-terabaikan”) “Analis-aktif, realistis” (“aset ideal/terbarukan”).
5). Materialis-Sosialis-Religius merujuk pada suatu label konstruksi karakter yang ditandai penghargaan pada materi/kepemilikan harta-benda (materialis) sebagai sebagian modal hidup (tapi bukan tujuan utama, sehingga bukan kapitalis). Tujuan utama kepemilikan materi adalah untuk kesejahteraan sosial bersama (sosialis) dalam mana niat perolehan materi, cara-cara pemerolehannya dan pemanfaatannya adalah di dalam bingkai aturan-aturan normatif suatu keyakinan religi. Ada kesenangan/kenikmatan religius yang dirasakan atau sekurangnya dipahami akan diperoleh seseorang sebagai konsekuensi niat dan cara pemerolehan materi, serta pemanfaatan materi (religius). Ringkasnya, konselor mengagendakan modifikasi berorientasi kepada hedonis-sosial berpadu dengan hedonis-religius. Fokus kerja konselor KIPAS dalam konstruksi karakter ini  adalah berupaya mencaritemukan kemungkinan adanya (S“Sensitif simpang orientasi” (“aset-terabaikan”)  pada konseli dan kemungkinannya untuk menemukan kualitas pribadi yang“Sensitif pada norma/nilai” (“aset ideal/terbarukan”).
Identitas yaitu ketegasan jati-diri konseli dari berbagai segi (misalnya, sistem nilai/religi, jenis kelamin, identitas gender, etnis, jalur pendidikan, ekonomi/kelas sosial, karier/pekerjaan/profesional) sebagai subtema. Identitas adalah lebih spesifik daripada karakter, karena menyangkut segi-segi atau bidang-bidang subtema tertentu. Berbeda dari karakter yang bisa dan harus bersifat selaras-seimbang, eklektik-gestalistik, untuk disebut ideal; sementara identitas harus spesifik dan jelas-tegas untuk dapat disebut ideal. Begitulah secara sosial, misalnya, ideal adanya karakter matriarki berpadu patriarki pada diri seseorang, namun tidaklah layak untuk konteks Indonesia adanya identitas jenis kelamin perempuan dan laki-laki sekaligus dalam satu orang. Dalam hal ini juga diharapkan adanya kecondongan khas pada identitas “feminis” atau “maskulinis” pada identitas ideal bangsa Indonesia. Dia harus memilih menjadi perempuan (yaitu jelas berperan dan menonjol ciri sosial feminis) atau laki-laki  (yaitu jelas berperan dan menonjol ciri sosial maskulinis) dalam hal identitas. Meskipun orang-orang yang dalam dirinya terkandung kedua sifat (feminin dan maskulin) dipandang hidup lebih sehat; namun seseorang Indonesia harus mempunyai kecondongan identitas gender secara jelas. Kuat ciri sifat laki-laki ataukah kuat ciri sifat perempuan. Mohon tidak keliru dengan karakter matriarkis dan patriarkis yang lebih baik jika berpadu integral.
Kejelasan atau, sebaliknya, kekaburan identitas pada suatu unsur identitas memiliki fungsi sangat penting untuk efektivitas hidup seseorang. Identitas yang jelas-tegas akan berfungsi untuk hidup efektif; sebaliknya identitas yang kabur akan berfungsi pada hidup tidak efektif. Oleh karena itu, konselor KIPAS mengagendakan kejelasan identitas peserta-didik  Dalam kerja konselor KIPAS pada tema karakter yaitu dalam mengenali dan membahas “urusan-inti” konseli adalah bisa terkategori secara cukup tegas unsur-unsurnya. Dalam tema identitas, berbeda dari tema karakter, unsur-unsur “urusan-inti” dapat dimainkan di dalam semua subtema identitas.
(Ini draf... bersambung......)



Catatan:
[1] Mappiare-AT., A. 2011. Konseling Posmodern: Mampukah Membantuk Karakter Berbasis Budaya Unggul Nusantara?  Makalah Bahan Diskusi. Dibahas dalam Seminar Nasional dengan Tema “Konseling Post-Modern dan Pendidikan Karakter Bangsa” Bulan Pendidikan FIP UNESA di Surabaya, Tanggal 7 Mei. (Makalah ini berisi konsepsi dasar “Posmodern” baik sebagai suatu era, gaya hidup, dan konstruksi-konstruksi keilmuan dan pengadopsiannya ke dalam pendidikan karakter dan konseling. Rujukan-rujukan hasil penelitian dan karya sendiri banyak ditampilkan di sini, sebagian untuk melacak penjelasan lebih dalam, dan sebagian [lebih penting] untuk mencegah tuduhan “otoplagiasi”. Atas alasan tersebut terakhir pula, terutama, pada KIPAS di sini dan pada paparan selanjutnya akan cukup banyak ditemukan bagian yang “merujuk-pada-diri” selain merujuk pada karya lain).
[2] Golsan, J. A., dan Golsan, G., The Creative Counselor. New York: McGraw-Hill Book Company. (Selain kajian konseptual mengenai gejala, peroses, dan sebab-sebab burnoutdalam bab-bab buku, pada lampirannya disertakan sebuah instrumen untuk menafsirkanburnout konselor yang dinamakan “Assesing Counselor Burnout”. Instrumen ini telah dicoba dimodifikasi dan ditampilkan dalam lampiran salah satu buku saya yaitu “Kamus Istilah Konseling dan Therapi”).
[3] Mappiare-AT., A. 2005. Identitas Religius Perempuan Islam: Kajian dalam Perspektif Teori Kritik Erich Fromm atas Pemakaian ‘Jilbab Modis’ oleh Mahasiswi di Kampus Muhammadiyah MalangDisertasi tidak dipublikasikan. Surabaya: Universitas Airlangga Surabaya.
[4] Moustakas, C., 1994. Phenomenological Research Method. Thousan Oaks, California: Sage Publications Inc.
[5] Bortle, C. D. 2013. ‘The role of mnemonic acronyms in clinical emergency medicine: A grounded theory study’. (Online). Diakses tgl. 6 Maret 2013 padahttp://udini.proquest.com/view/the-role-of-mnemonic-acronyms-in-goid:814720551/ 
[6] Cormier, W. H.,  dan Cormier, L. S.,  1985.  Interviewing Strategies for Helpers: Fundamental skills and cognitive behavior intervention (Second Edition). Monterey, California: Brook/Cole Publishing Company (151). Dapat pula ditemukan dalam banyak sumber, misalnya Osipow, S. H., Walsh, B. W., dan Tosi, D. J., 1984. A Survey of Counseling Methods. Homewood, Illinois: The Dorcey Press (102).
[7] Egan, G., 1984. The Skilled Helper (Third Edition). Monterey, California: Brook/Cole Publishing Company (76-77)
[8] Remer, B., 2007. ‘Reflective practice: Learning from real-world experience’. Di dalam Silberman, M. (Ed.). The Handbook of Experiential Learning. Sanfrancisco, California: John Wiley & Sons, Inc. (224-238).
[9] DePorter, B., Reardon, M., Singer, S., dan Nourie, 1999. Quantum Teaching: Orchestrating student success. Boston: Allyn and Bacon
[10] Taslimuharom, T., ‘Metodologi PAKEM’. (Online). Diakses tgl. 9 Maret 2013, padahttp://www.tedcbandung.com/tedc2011/pdf/mjld09.pdf  (di Jawa Tengah ada modifikasinya “PAIKEM Gembrot” [Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif, Menyenangkan, Gembira dan Berbobot]. Melalui program Workstation P4TK-BMTI Bandung tahun 2007, di Jayapura muncul pula sebutan “MATOA” [Menyenangkan Atraktif Terukur Orang Aktif]. Bagi yang tertarik akan asal-usulnya masing-masing, silahkan menelusurinya).
[11] Mappiare-AT, A., 2009. Identitas Religius di Balik Jilbab: Perspektif Sosiologi Kritik. Malang: Universitas Negeri Malang, UM Press.
[12] Mappiare-AT, A., 2006. Kamus Istilah Konseling dan Therapi. Jakarta: Raja Grafindo Persada-Rajawali Press. Rentang waktu dan proses penyusunan buku ini dapat dibaca dalam “Kata Pengantar”.
[13] Penelitian dimaksud terdiri dari sejumlah judul yang dilakukan dalam dukungan sejumlah projek (Due-Like, 2001 – 2005; PHKI, 2008 – 2010, Hibah Bersaing DP2M, 2007 – 2009; Hibah Kompetensi DP2M, 2010 – 2011; dan projek atas dukungan lembaga lain serta penelitian non-projek. Beberapa dari penelitian itu dipublikasikan berupa buku ber-ISBN, dan dalam sejumlah jurnal terakreditasi dan yang ber-ISSN, selain kajian konseptual non-penelitian. Penelitian dan kajian dimaksud umumnya berfokus pada eksplorasi, deskripsi dan eksplanasi budaya beberapa etnis serta isu karakter yang terkait Bimbingan dan Konseling. Pada saatnya nanti, hasil-hasil penelitian budaya dan karakterdimaksud ditampilkan juga pada tempatnya yang pantas sebagai rujukan yang menguatkan isi KIPAS ~ sepanjang proses penyempurnannya.
[14] van Doren, C., 1991. A History of Knowledge: Past, present, and future. New York: Ballantine. (Dalam buku ini diterangkan bahwa cara seperti ini termasuk dalam “Chaos analysis” (385) yang akan mengantarkan ilmu pada penjelasan bagaimana suatu fenomena (materi) tersusun dalam suatu pola, bagaimana suatu pola dapat tersusun dalam rangkaian pola. Salah satu tipenya adalah yang kegiatannya lebih dominan ‘menambang bahasa’ [mining language], disebut “Ideonomy”. Penemu ideonomy adalah seorang pria terkenal bernama Partrick Gunkel, yang hidup di Austin, Texas. Dia menghabiskan hari-harinya dalam menciptakan, memperluas, dan mendefinisi-ulang daftarnya mengenai ide dan benda. Setiap daftar disebutnya “organon”, hal mana diikatnya dengan cara penggunaan kombinasi, permutasi, transformasi, generalisasi, spesialiasi, interseksi, interaksi, reaplikasi, rekursif, dan sebagainya, atas organon yang ada (van Doren, 1991: 387).
[15] Stanford Ensyclopedia of Philosophy, 2009. ‘Ludwig Wittgenstein’.  (Online). Diakses tgl. 7 Maret 2013 pada http://plato.stanford.edu/entries/wittgenstein/#Rul
[16] Mappiare-AT., A., 1992. ‘Analisis interviu konseling awal tentang pengungkpan diri klien dan gaya komunikasi konselor’. Tesis tidak dipublikasi. Malang: Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Malang, Program Pascasarjana.
[17] Media-media bimbingan kelompok dengan pemberian nama secara akronim ini diarsipkan oleh UPT-BK Universitas Negeri Malang.
[18] Hansen, D. A. (Ed.), 1969. Exploration in Sociology and Counseling. Boston: Houghton Mifflin Company.
[19] Mappiare-AT., A., 2009. Pengantar Metodologi Riset Kualitatif untuk Ilmu Sosial dan Profesi. Surabaya: Jenggala Pustaka Utama bersama Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang (xiii)
[20] Sarang Souvenir, 2011. Kipas Gunungan dalam Makna. (Online). Diakses tgl. 7 Maret 2013 pada http://sarangsouvenir.blogspot.com/2011/01/kipas-gunungan-dalam-makna.html
[21] Furong, H., 2013. The Epoch Time. (Online). Diakses tgl. 7 Maret 2013 pada:http://www.epochtimes.co.id/china.php?id=1201